Ada 4.358 Aduan terkait Mafia Tanah Sepanjang 2021

HL 2

KETUA PANJA PEMBERANTASAN MAFIA PERTANAHAN ATAU MAFIA TANAH KOMISI II DPR RI, JUNIMART GIRSANG. (Antara/Lingkarjateng.id)

JAKARTA, Lingkarjateng.id – Ketua Panitia Kerja (Panja) Pemberantasan Mafia Pertanahan atau Mafia Tanah Komisi II DPR RI Junimart Girsang mengungkapkan, sepanjang 2021 Panja Mafia Pertanahan Komisi II telah menerima 4.358 aduan.

Junimart Girsang mengatakan, aduan tersebut merupakan laporan masyarakat yang meliputi sedikitnya 100 ribu lebih kasus sengketa pertanahan di Indonesia.

“Panja Mafia Tanah DPR ini dibentuk pada 29 Maret 2021, hingga saat ini jumlah aduan yang diterima dari masyarakat sekitar 4.358, dan jumlah kasusnya sebanyak 100 ribu lebih,” kata Junimart Girsang di Jakarta, Selasa (14/12).

Dari jumlah tersebut, sebagian besar konflik pertanahan terdiri dari sengketa kepemilikan antara pemilik sesungguhnya dengan para mafia tanah. Hal itu diyakini terjadi akibat ulah oknum petugas hingga pejabat di lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memberi ruang bagi para mafia tanah untuk beraksi ala TSM (terstruktur, sistemik, masif).

Baleg DPR RI Fokus Revisi UU Ciptaker – PPP

“Paling banyak itu kasusnya yang pertama adalah kasus sengketa kepemilikan, serta kasus yang melibatkan mafia tanah,” ujarnya.

Kasus tersebut umumnya dalam temuan Panja Mafia Pertanahan Komisi II terjadi akibat dari ulah oknum di lingkungan BPN sendiri yang membantu memuluskan aksi dari para mafia tanah. “Sehingga dalam menjalankan aksinya, para mafia itu terkesan sudah sangat terstruktur, sistemik, dan masif,” imbuhnya.

Selanjutnya, kasus terbanyak kedua adalah sengketa legalisasi kepemilikan tanah. Sengketa tersebut paling banyak menciptakan konflik antara kelompok masyarakat dengan berbagai pihak, mulai dari pihak perusahaan swasta, badan usaha milik negara (BUMN) hingga pemerintah daerah (pemda).

Selain itu, kasus pertanahan terbanyak lainnya meliputi hak penguasaan tanah. Konflik ini terjadi antara masyarakat dengan para pemegang izin hak guna usaha (HGU). Kemudian, hak guna bangunan (HGB) serta izin penguasaan lainnya.

Junimart menilai, dalam mengatasi masalah konflik pertanahan di Indonesia, Pemerintah dianggap perlu untuk benar-benar menjalankan koordinasi-koordinasi dan komunikasi lintas kementerian. Presiden juga disarankan untuk meninjau kembali Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang dinilai menjadi penghambat dalam penegakan hak pemilik sertifikasi tanah yang sah. (Lingkar Network | Koran Lingkar Jateng)

Exit mobile version