KAB. SEMARANG, Lingkarjateng.id – Presiden Prabowo Subianto telah menjadikan ketahanan pangan sebagai program prioritas dalam pemerintahannya. Sejumlah kebijakan untuk mencapai hal itu pun diluncurkan. Akan tetapi praktiknya, para petani di daerah masih mengalami sejumlah kendala klasik, yakni sulit mendapat pupuk bersubsidi dan sulit menjual hasil panen dengan harga bagus.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Wahyudi (42), seorang petani sayuran di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Pria yang akrab disapa Ahonk itu menyatakan sulitnya mendapatkan pupuk subsidi sejak adanya program Kartu Tani.
“Soal pupuk memang susah carinya, bahkan untuk memesannya pun kami masih kesusahan sampai sekarang ini,” ungkapnya saat ditemui Lingkar pada Kamis, 12 Desember 2024.
Menurut Ahonk, sejak adanya Kartu Tani yang mensyaratkan berbagai hal, justru membuat para petani sayur kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi.
“Sudah terjadi beberapa tahun lalu. Belum lagi mahalnya harga pupuk yang tidak sebanding dengan hasil panen kita,” keluhnya.
Petani harus membayar Rp 150 ribu untuk mendapatkan pupuk urea. Sedangkan untuk pupuk phonska ukuran kecil dibanderol Rp 160 ribu hingga Rp 170 ribu lebih.
“Belum lagi phonska yang besar, pasti mahal. Karena kami pasti membutuhkan pupuk itu sesuai dengan luasan lahan kebun kami,” paparnya.
Ahonk menambahkan, pasokan pupuk subsidi di daerah faktanya tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan petani sayur di Getasan.
“Jumlahnya sama sekali tidak mencukupi kebutuhan petani sayur. Paling hanya 30 persen saja dari keseluruhan jumlah kebutuhan kami. Jadi 80 persennya sendiri yang sudah pasti tidak mendapatkan pupuk tersebut. Saya sendiri sudah lama sekali tidak mendapatkan pupuk subsidi itu,” ungkapnya.
Untuk mengakali hal tersebut, Ahonk memilih pupuk kandang yang mudah didapatkan di Getasan.
“Selain murah, pupuk kandang ini juga mudah kami dapatkan. Karena di sekitaran Getasan ini banyak sekali peternakan sapi dan kambing. Jadi kotoran hewan (kohe) bisa kami manfaatkan. Namun, kondisi ini juga dialami peternak sendiri. Mereka juga butuh pupuk untuk menyuburkan rumput sebagai pakan ternak mereka. Susah, Mbak,” imbuhnya.
Bukan hanya merogoh kocek untuk beli pupuk, Ahonk juga harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli pestisida.
“Beli sendiri pestisida untuk membunuh hama-hama di tanaman sayur ini. Harganya bervariasi, mulai dari Rp 25 ribu sampai ratusan ribu rupiah per botol atau per kemasannya,” lanjut dia.
Kondisi petani diperburuk dengan rendahnya harga jual sayuran hasil panen di tingkat tengkulak.
“Apalagi musim hujan seperti ini, harga sayur turun semuanya. Karena hitungannya hasil panen melimpah, meski kadang kami harus memanennya lebih awal supaya tidak terlalu rugi sekali,” ujar dia.
Ia pun menyayangkan tengkulak membeli sayuran petani dengan sangat rendah. Tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk bercocok tanam.
“Kalau sudah begini, tengkulak pasti beli panen kami dengan harga rendah karena stok banyak. Contoh, sawi ini hanya dihargai Rp 2 ribu per kilogram. Cabai pun turun drastis jadi Rp 8 ribu per kilogram. Cabai saya ini saya petik atau panen lebih cepat, jadi belum merah sudah harus dipetik supaya tidak busuk. Harga yang masih cukup bagus tomat, yakni Rp 5 ribu per kilo,” kata Ahonk.
Ia berharap, pemerintah bisa mencarikan solusi terbaik atas permasalahan yang setiap tahunnya melanda petani-petani tersebut.
“Tentu kami sebagai petani hanya bisa berharap dan pasrah. Berharap semoga soal pupuk ini bisa lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah. Supaya kebutuhan petani ini bisa terpenuhi semuanya, rata gitu. Kalau soal harga jual sampai sekarang ini belum ada solusi. Khususnya saat panen raya. Jadi kami harap nanti ada solusinya. Sekarang ini kami hanya bisa pasrah,” tukasnya.
Hal senada juga diungkapkan petani sayur milenial asal Desa Cuntel, Getasan, Koko Molik yang memilih menyumbangkan hasil panennya untuk dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat yang membutuhkan.
“Kalau soal pupuk itu kami serahkan kepada pemerintah. Karena jelas seluruh kewenangannya ada di pemerintah. Kami bisanya pasrah. Tapi yang lebih penting adalah yang saat ini harus segera dicari solusinya adalah harga jual sayur hasil panen kami yang terlalu sering anjlok,” ujarnya.
Karena hasil jual sayuran dipanen tidak sebanding dengan modal yang harus dikeluarkan untuk perawatan.
“Saya lebih memilih memberikan secara cuma-cuma ke warga yang butuh, sedekah istilahnya. Dari pada saya hancurkan hasil panen di kebun, saya cacah, saya jadikan pupuk. Lebih baik saya sedekahkan ke warga kurang mampu saat harganya benar-benar anjlok seperti sekarang ini,” ujar dia.
Ia menambahkan, pernah harga sayuran kolbis dihargai Rp 500 per kilogram.
“Kalau sekarang ini masih di angka Rp 2 ribu per kilo. Semoga tidak anjlok sampai musim panen raya ini selesai, karena jelas tidak sesuai sekali dengan biaya operasional yang harus kami keluarkan,” tukasnya. (Lingkar Network | Hesty Imaniar – Lingkarjateng.id)