SEMARANG, Lingkarjateng.id – Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang Anang Budi Utomo mengimbau agar Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang memberikan solusi akan keberadaan pengemis, gelandangan, orang terlantar (PGOT) di Kota Semarang. Meski tak bisa dipungkiri, faktor ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19 mendorong PGOT mengais rezeki di jalanan Ibu Kota Jawa Tengah.
“Pada dasarnya orang turun ke jalan itu sudah ada UU tentang Ketertiban Umum dan Perda tentang Tibum, prinsipnya itu melanggar. Tapi pemerintah tidak boleh represif begitu saja mengambil tindakan tanpa solusi. Sehingga kita sambil cari solusi,” ujar Anang saat dihubungi Lingkar Jateng, Minggu (28/11).
Secara umum, untuk keindahan dan ketertiban kota, keberadaan PGOT memang mengganggu. Namun, lanjut Anang, hal itu bisa diatasi dengan penanganan penegakkan hukum.
“Kalau masalah aturan main sosialisasi kita sudah tidak kurang-kurang. Sementara kalau situasi seperti ini (pandemi, Red) mau kita kerasin juga tidak baik,” imbuhnya.
Belum Maksimal, Pemkot Semarang Sasar Pajak dari Mall
Ia berharap, dengan kebijakan yang ditetapkan Pemkot Semarang dalam rangka menggerakkan roda ekonomi bisa menjadi lapangan kerja baru bagi mereka. Sehingga, keberadaan PGOT di Kota Semarang bisa segera teratasi.
“Sebenarnya kita sudah tahu darimana mereka berasal. Tapi yang jelas begitu kita lakukan penegakkan Insya Allah selesai. Saya selalu wanti-wanti kepada aparat penegak hukum agar kita bisa melakukan penegakkan dengan lebih bijak,” jelasnya.
Anang menuturkan, berdasar pada prosedur, ada tahapan-tahapan untuk PGOT yang terjaring razia. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mendata, dilanjutkan dengan memilah berdasarkan tempat asal. Jika berasal dari luar kota, maka orang tersebut akan dikembalikan ke tempat asalnya atau dimasukkan ke panti rehabilitasi.
“Kalau warga Semarang dipilah lagi, apakah dia harus masuk panti atau dikembalikan ke orang tua kalau masih di bawah umur. Ini kan tidak semudah itu digaruk kemudian dimasukkan panti, ada prosesnya,” ungkapnya.
Anang mengungkapkan, kabupaten/kota tidak boleh mengelola panti sosial dan rehabilitasi. Panti tersebut hanya dikelola oleh Pemerintah Provinsi saja. Sehingga, yang menjadi permasalahan ketika panti tersebut penuh dan tidak bisa lagi menampung.
“Makanya di Kota Semarang kita buat rumah-rumah singgah. Jadi untuk menampung sementara dan memberi pelatihan agar mereka bisa tertangani dengan baik,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Semarang, Muntohar menjelaskan, teknis bagi PGOT yang terjaring razia lebih dari tiga kali akan dimasukkan ke rumah singgah. Namun jika baru pertama kali, pihaknya akan melayangkan surat pemberitahuan kepada RT, RW, dan Lurah tempat yang bersangkutan tinggal.
Hal serupa juga dilakukan bagi PGOT yang berasal dari luar kota. Jika itu baru penangkapan yang pertama, maka Dinsos Semarang akan menyurati Kepala Dinsos tempat yang bersangkutan berasal. Surat pemberitahuan juga dilayangkan kepada Lurah, RW, dan RT setempat.
Pihaknya juga berkoordinasi dengan pihak rumah sakit jiwa (RSJ). Hal ini guna menangani PGOT yang menderita gangguan jiwa.
“Terkait hal itu, kami juga koordinasikan dengan Dinsos Provinsi Jateng. Karena mereka punya panti asuhan untuk diadakan pembinaan disana,” tambahnya.
Lebih lanjut, Muntohar mengaku, pihaknya sangat terbantu dengan keberadaan Tim Penjangkauan Dinas (TPD) dalam penertiban PGOT.
“Persoalan yang ditemukan seringkali begini, ada PGOT sudah tua, kadang ditanya namanya saja tidak tahu. Ini tugas dari Dinsos untuk diadakan pembinaan di rumah singgah. Tapi kalau ditanya nama alamat bisa jawab, kita hubungi. Misal keluarganya mampu, kita suruh jemput. Tapi kalau enggak, kita antar,” pungkasnya. (Lingkar Network | Koran Lingkar Jateng)