SEMARANG, Lingkarjateng.id – Banjir bandang dengan debit air yang tinggi disertai campuran lumpur berwarna cokelat di kawasan Bandungan, Kabupaten Semarang sempat menghebohkan masyarakat. Banjir itu disebut-sebut merupakan dampak dari pembangunan proyek wisata baru yang tak mengantongi izin di lingkungan Piyoto, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang.
Tinjauan dan koordinasi langsung dilakukan oleh beberapa pihak, yakni pihak pengelola proyek tersebut dan pekerjanya, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan Satpol PP dari Dinas Satpol PP dan Damkar (Poldam) Kabupaten Semarang, Camat Bandungan dan jajaran Forkompimcam Bandungan, serta warga setempat di tanjakan menuju lingkungan Piyoto, Bandungan, Kabupaten Semarang atau tepatnya lokasi sumber terjadinya banjir tersebut.
Salah satu tokoh masyarakat Desa Piyoto, Rahwono (70) yang mengaku sebelumnya memang tidak pernah ada banjir besar disertai lumpur di kawasan Bandungan.
“Belum pernah terjadi mbak, makanya kami heran, semua bangunan di sini termasuk Susan Spa yang berdekatan dengan pembangunan proyek wisata tidak ada ijin ini juga tidak pernah menyebabkan banjir di lokasi Bandungan saat pembangunannya dulu. Ini banjir besar sudah ketiga kalinya, kalau hujan deras pasti banjir sekarang,” katanya ditemui di lokasi tinjauan dan koordinasi tersebut, pada Senin, 15 Januari 2024.
Rahwono mengaku kasian dengan warga yang tinggal di kawasan bawah Bandungan dibagian bawah, karena banjir lumpur sudah tiga kali ini menerjang mereka dalam waktu berdekatan.
“Kasian warga di bawah, banjir ini dijalanan dan masuk di wilayah mereka di bawah, kalau saya tinggal di Piyoto di atas, jadi tidak terdampak, tapi yang dibawah bagaimana? Terdampaks sekali. Drainase dari dulu ya begini bentuknya, tapi memang tidak pernah terjadi banjir besar sampai viral seperti sekarang ini,” tambahnya.
Ia mengungkapkan bahwa pemilik pembangunan lahan wisata agro itu adalah orang Jakarta.
“Agrowisata yang saya dengar dari orang-orang sini, dan pemiliknya informasinya orang Jakarta, dulu itu sudah diingatkan untuk mengurus semua perizinan, tapi ya ngeyel, dan ya ini dampaknya, istilahnya di orak-arik tanahnya, beda saat pembangunan Susan Spa yang di depannya, tidak ada banjir dulu,” tegas Rahwono.
Disisi lain, Sekertaris Dinas (Sekdin) DPU Kabupaten Semarang, Danang Eko mengatakan akan segera dilakukan penanganan darurat di kawasan Bandungan ini.
“Kami DPU menerima laporan, informasi, bahkan surat soal hal ini, kemudian kami koordinasi dengan pihak terkait soal kondisi disini, dimana ada dampak atas kegiatan pembukaan lahan yang ada di lingkungan Piyoto, Bandungan ini,” terangnya usai melakukan koordinasi di tanjakan yang sering disebut Hollywood itu.
Danang menjelaskan, jika tinjauan ini kaitannya murni teknis sebagai antisipasi terkait banjir disertai lumpur yang debit airnya sangat besar hingga meluber ke jalan dan menganggu aktivitas warga di Bandungan.
“Hasilnya, sudah disepakati kami akan segera tuangkan dalam bentuk berita acara, kaitannya dengan teknis antisipasi sementara terkait dengan pelaksanaan kegiatan yang mana dampak atas drainase ini, tapi bisa kami sampaikan ini untuk mengurangi permasalahan dan bukan persetujuan atau rekomendasi dari pelaksanaan kegiatan tersebut,” bebernya.
Menurutnya, tinjauan tersebut bersifar justifikasi teknik atas kegiatan yang sudah berlangsung, dimana harus dibuatkan drainase untuk mengamankan kondisi saat ini.
“Tapi perlu diingat, ini bukanlah sebuah persetujuan atau sebagai perijinan atas pelaksanaan kegiatan. Dan disepakati akan dilakukan penanganan darurat karena memang sudah terlanjur lokasi di atas ini terganggu karena struktur tanahnya, karena sudah ada kegiatan di lokasi pembangunan proyek itu,” kata Danang.
Oleh sebab itu, akan segera dilakukan pembuatan tampungan-tampungan guna melandaikan laju air.
“Tampungan-tampungan air ini fungsinya untuk melakukan pengereman energi air karena debit yang sangat tinggi, kalau tidak di rem, ini tanah kemiringannya ternyata sampai 12 persen, jadi energinya luar biasa kencang, sehingga dampaknya bisa ke wilayah bawah,” lanjutnya.
Oleh sebab itu, lanjut Danang Eko, tampungan-tampungan air untuk melandaikan laju air ini dapat membuat kemiringan tidak sampai 12 persen.
“Harus dilandaikan paling tidak 5 sampai 6 persen, dan juga harus dibikinkan kolam olak di dalam alur-alur saluran ini agar dapat menampung air dengan tekanan yang tinggi karena kemiringan itu tadi. Jadi airnya ditenangkan dulu di situ sebelum dilepas di saluran air kita atau drainase ini,” imbuhnya.
Danang juga menyebutkan bahwa dirinya tidak bisa menjelaskan soal sistem air atau drainase di dalam lokasi pembangunan itu.
“Karena memang di kami tidak menerima konsep site plan dan sebagainya, memang di kami tidak ada, sehingga terkait sistem konsep drainase di dalam lokasi pembangunan itu kami belum tahu. Dan alat berat di dalam sudah tidak ada karena dihentikan oleh Satpol PP, dan nanti jika ada alat berat maka itu digunakan untuk penanganan drainase,” sebut Danang.
Drainase yang juga selama ini dikatakan masyarakat terlalu kecil oleh masyarakat sebelumnya, diakui Danang bahwa sistem jaringan drainase disini masih menggunakan sistem drainase lama karena pada waktu itu masih banyak casement area, berbeda dengan sekarang yang sudah banyak dibangun villa, hotel, dan sebagainya.
“Dengan banyaknya pembangunan itu maka daerah resapan disini berkurang, tapi memang kami akui itu PR kami Pemkab Semarang, bertahap akan kita benahi satu persatu, karena kami ada keterbatasan dengan anggaran dan luasan wilayah di Kabupaten Semarang ini. Tapi memang ada rencana penanganan ke depan di jalur ekstrem disini, karena tidak hanya teknis tapi ada faktor non teknis juga untuk penanganan infrastruktur disini, tapi sedang kami konsep,” tandas Danang yang menyebut resapan air di Bandungan sudah berkurang banyak. (Lingkar Network | Hesty Imaniar – Lingkarjateng.id)