Puncak Kemarau di Pati Diprediksi Juli-Agustus 2024, Masyarakat Diminta Hemat Air

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pati, Martinus Budi Prasetya saat diwawancarai di Pendopo Kabupaten Pati, Senin 20 Mei 2024. (Setyo Nugroho/Lingkarjateng.id)

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pati, Martinus Budi Prasetya saat diwawancarai di Pendopo Kabupaten Pati, Senin 20 Mei 2024. (Setyo Nugroho/Lingkarjateng.id)

PATI, Lingkarjateng.id – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pati memprediksi puncak musim kemarau tahun 2024 terjadi pada Juli hingga Agustus mendatang. 

Sesusai dengan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), musim kemarau di Pati terjadi di bulan Mei ini. Hal itu ditandai dengan tidak adanya hujan dalam 10 hari belakangan.

Kepala BPBD Pati, Martinus Budi Prasetya mengatakan, musim kemarau tahun ini diprediksi akan lebih panjang dibandingkan dengan tahun 2023 lalu. Bahkan, puncak musim kemarau bisa molor hingga November 2024 mendatang.

“Tetapi bisa jadi mungkin sampai September-Oktober bahkan barangkali nanti di November masih ada beberapa tempat yang mengalami musim kemarau. Tahun 2024 ini musim kemaraunya akan lebih panjang dan lebih ekstrim daripada tahun 2023 kemarin,” ucap Martinus, Senin 20 Mei 2024.

Selain belajar dari pengalaman tahun lalu, untuk mengatasi kekeringan pihaknya juga sudah melakukan studi tiru ke beberapa daerah seperti Kabupaten Wonogiri, Brebes dan Gunungkidul. 

Sehingga Pati bisa meniru apa yang telah dikerjakan ketiga daerah tersebut. Dimana, kondisinya lebih kering dibandingkan Kabupaten Pati.

“Kita sudah pernah belajar di daerah yang lebih kering, Gunungkidul, Wonogiri, kemudian Bappeda yang sekarang namanya badan research daerah dan perencanaan itu juga pernah studi tiru Kabupaten Brebes. Itu bisa kita adopsi di Pati,” jelasnya.

Martinus berharap, masyarakat menghemat air. Ketika masih ada hujan, air bisa ditampung baik dalam embung ataupun di tandon air yang sudah disiapkan di masing-masing rumah.

Kemudian bagi petani, disarankan untuk mengganti tanaman mereka dari tanaman padi ke tanaman palawija. Sehingga, ketika hujan tidak turun lagi, petani masih dapat menggarap lahannya.

“Kedua, para petani juga diimbau untuk mengganti komoditas dari padi menjadi tanaman palawija, tanaman yang lebih sedikit membutuhkan air,” harapnya. (Lingkar Network | Setyo Nugroho – Lingkarjateng.id)

Exit mobile version