PATI, Lingkarjateng.id – Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pati mengundang beberapa perusahaan daerah untuk membahas kelanjutan Raperda CSR (Corporate Social Responsibility) pada Senin, 16 Oktober 2023.
Perusahaan yang diundang di antaranya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Bank Jateng, Bank Perkreditan Rakyat dan Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK), Bank Daerah, dan Rumah Sakit Keluarga Sehat (KSH).
Turut hadir dalam kegiatan tersebut perwakilan dari Bagian Kesejahteraan dan Rakyat (Kesra), Bagian Hukum, dan Bagian Perekonomian Setda Pati.
Dalam pertemuan tersebut, Ketua DPRD Pati Ali Badrudin melalui anggota komisi B Sukarno, mengatakan bahwa masih ada tarik ulur mengenai besaran dana CSR.
Sukarno menyampaikan, pihaknya selaku legislatif menghendaki besaran CSR 2,5%. Akan tetapi, besaran tersebut belum bisa disepakati oleh pihak eksekutif melalui Kepala Bagian (Kabag) Hukum.
“Kalau kami dari legislatif menghendaki dana CSR itu 2,5%. Tapi eksekutif tidak mau. Kami turunkan lagi 2% tetap tidak mau. Eksekutif melalui Kabag Hukum bilang harus ada persetujuan dulu dari atasan (Pj Bupati),” ungkap Sukarno.
4 Kali Bahas Raperda CSR, DPRD Pati Sukarno Sebut Belum Ada Titik Temu
Kendati belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang besaran dana CSR. Sukarno sangat mengapresiasi peranan para perusahaan daerah yang masih mengeluarkan dana CSR sesuai dengan kebijakan masing-masing perusahaan.
Untuk tahun ini saja, lanjut Sukarno, besaran dana CSR yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar Rp 3 miliiar. Jumlah ini telah disalurkan untuk pengembangan sektor UMKM, membantu korban banjir, hingga kekeringan.
“PDAM, Bank Jateng, BPR, KSH, dan PDAM itu besarannya Rp 3 miliiar. Kalau swasta dimasukkan juga mungkin bisa Rp 10 miliiar. Bank Jateng aturannya 3% besarannya Rp 1,94 miliiar, PDAM 2% besarannya Rp 90 juta, Bank Daerah 3% besarannya Rp 250 juta, BKK 3% besarannya Rp 213 juta,” terangnya.
Politisi dari Partai Golkar ini berharap agar perbedaan pendapat soal besaran persentase dana CSR segera disepakati bersama. Sehingga jika ada permasalah di daerah, perusahaan yang mengambil keuntungan dari Kabupaten Pati memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan.
“Selama ini memang kegiatan kabupaten di-support Bank Jateng. Termasuk di Persipa. Kenapa ada KSH? Itu ternyata sponsor, bukan CSR. Tapi kita tidak pernah diajak diskusi soal itu. Makanya kita buat Raperda itu, supaya jelas ada batasan minimal CSR. Sehingga nanti sewaktu-waktu dewan bisa memanggil perusahaan itu,” tutup Sukarno.
Ormas Mantra Desak Pemkab Pati Transparan Soal Dana CSR
Sikap Pemerintah Kabupaten Pati yang dinilai tidak transparan terkait jumlah dan penggunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) mendapat sorotan dari Ormas Masyarakat Penjaga Nusantara (Mantra). Mereka mendesak agar Pj Bupati sebagai pimpinan Pemkab Pati bersikap transparan sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
“Selama ini masyarakat nggak tahu, berapa besaran dana CSR dari Perusda dan perusahaan-perusahaan di Pati ini yang disetor ke Pemkab. Berapa totalnya dan dipakai buat apa? Masyarakat berhak tahu soal itu, dong!” tegas Ketua Umum Mantra Cahya Basuki saat ditemui di Gedung DPRD pada Senin, 16 Oktober 2023.
Pria yang terkenal dengan sebutan Yayak Gundul itu mengatakan bahwa dana CSR yang disetor oleh perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab sosial kepada masyarakat, justru tak diketahui masyarakat karena Pemkab pun tidak terbuka akan hal itu.
“Karena itu kita harus benar-benar mengawal, sebetulnya CSR di Pati ini ada berapa sih? Contoh saja, kayak Bank Jateng di Pati. Satu tahunnya CSR sampai RP 1,9 miliar. Bayangkan itu baru satu perusahaan. Padahal di Pati ini banyak perusahaan. Berapa miliar yang terkumpul? Dan buat?” ujarnya.
Dijelaskan Yayak, kalau peruntukan CSR benar untuk masyarakat, maka masyarakat berhak tahu besaran dana CSR ini dan digunakan untuk apa saja.
“Kalau benar peruntukannya untuk membantu Sudah disalurkan atau belum? Penyalurannya dalam bentuk apa?” jelasnya.
Persoalan misteri CSR Pati ini menurut Yayak, bukan baru setahun dua tahun, tapi bertahun-tahun.
“Ini bukan bertahun-tahun, tapi sudah 10 tahun lebih. Saking nggak jelas. Karena masyarakat ini tak pernah dengar di Pati ini dapat CSR. Bentuknya seperti apa. Oleh sebab itu, kita harus mengawal. Karena salah satu manfaat CSR ini kan meringankan pemerintah dalam menyejahterakan rakyat,” lanjut Yayak.
Pihaknya mempertanyakan, pengawasannya kepada siapa. Untuk itu, ia berharap ada transparansi dana CSR yang bisa diakses publik.
“Mantra berharap, Pemkab harus transparan lah. Di Pati ini ada berapa sih CSR dari perusahaan-perusahaan ini. Kalau memang Pemkab peduli dengan masyarakat Kabupaten Pati tentunya harus terbuka manfaat pemakaiannya. Terbuka dan tentunya harus ada pengawasan,” tegasnya.
Ia pun meminta Pj Bupati bersikap tegas dalam mengawal Raperda CSR. Karena menurutnya, Dewan sudah beritikad baik untuk menyelesaikan Raperda CSR melalui Pansus yang telah terbentuk. Sementara, sikap eksekutif yang alot, terkesan mengulur-ulur waktu.
“Saya ucapkan terima kasih kepada DPRD Pati yang mengawal hal ini. Luar biasa, karena berani membuat Raperda CSR Pati. Ini luar biasa dan wajib kita bantu, karena DPRD memberi langkah yang sangat tepat. Pj Bupati juga harus siap dong mengawal Raperda ini biar jelas. Bagaimana dia bisa membangun Pati, wong CSR saja nggak jelas. Bank Jateng ini memberi CSR ke Pemkab sampai Rp 1,9 miliar itu untuk apa? Ini aja dulu harus jelas. Kalau nggak jelas, kok ngomong peduli sama warga Pati, apa buktinya?” kata Yayak.
Polemik Raperda CSR ini seakan benang kusut yang tak kunjung usai. DPRD Pati dan Pemkab Pati berseberangan pendapat dalam pembahasan dalam Raperda CSR. Kondisi ini membuat Raperda CSR tidak jelas nasibnya, meskipun telah ditarget sah tahun ini. (Lingkar Network | Arif Febriyanto/Nailin RA – Lingkarjateng.id)