JEPARA, Lingkarjateng.id – Saipul (37), warga Desa Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan mengeluhkan harga kedelai impor yang terus meroket. Menurutnya, kondisi ini menyulitkan upaya mereka untuk bangkit di masa pandemi.
“Kami kesulitan untuk memproduksi tempe, karena harga kedelai melonjak tajam. Namun, di sisi lain kami harus tetap memproduksi, karena banyak pedagang yang memesan tempe untuk dijual kembali,” keluhnya.
Ia menjelaskan, untuk bertahan dan tidak merugi, ia lebih memilih memperkecil ukuran tempe daripada menaikkan harga. Harga kedelai impor saat ini berkisar Rp 13 ribu per kilogram.
Harga Kedelai Naik, Perajin Tahu Tempe Kendal: Terlalu Tinggi buat Kita
Ia mengungkapkan, bahan baku kedelai impor yang digunakan untuk membuat tempe tidak bisa digantikan dengan kedelai lokal. Hal ini karena kualitasnya tidak sama.
“Kalau menggunakan kedelai impor, maka tempe tersebut bisa tahan selama 3 hari. Sedangkan, menggunakan kedelai lokal, kadang-kadang sehari sudah tumbuh jamur dan tidak bisa dimasak,” imbuhnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pardi (43), pengusaha tahu di Desa Pecangan timur. Ia mengaku telah menyiasati berbagai trik agar usaha pembuatan tahunya dapat bertahan di tengah melambungnya harga kedelai saat ini.
Kenaikan Harga Kedelai Dikeluhkan Perajin Tahu Tempe Pati
“Walaupun beberapa produsen sudah ada yang menaikkan harga, namun saya belum bisa, karena para pelanggan juga mengalami hal serupa di tengah naiknya harga kebutuhan pokok, sehingga menurunkan minat pembeli,” ujarnya.
Ia pun berharap, harga kedelai impor akan kembali normal seperti sebelumnya, sehingga pihaknya tidak kebingungan dalam menjalankan usaha. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)