Manfaatkan Limbah Alam, Omah Petruk Jepara Produksi Kain Tenun Ramah Lingkungan

MEMAMERKAN: Penggagas Omah Petruk, Ahmad Karomi, menunjukkan kain tenun dari pewarna alami. (Muhammad Aminudin/Lingkarjateng.id)

MEMAMERKAN: Penggagas Omah Petruk, Ahmad Karomi, menunjukkan kain tenun dari pewarna alami. (Muhammad Aminudin/Lingkarjateng.id)

JEPARA, Lingkarjateng.id Kain tenun troso merupakan salah satu produk tekstil lokal khas Kabupaten Jepara. Disebut kain tenun troso karena sentra produksinya ada di Desa Troso, Kecamatan Pecangaan.

Salah satu rumah produksi kain tenun ini ada di Omah Petruk yang digagas oleh Ahmad Karomi. Ciri khas tenun dari Omah Petruk adalah penggunaan bahan pewarna yang ramah lingkungan.

Romi, sapaan akrab penggagas Omah Petruk, memulai produksi tenun pada 2017. Ia telah melakukan berbagai percobaan untuk mengulik pembuatan warna alami. Kain tenun hasil produksinya itu pun diberi jenama Wastra Tenun Cakra Manggilingan. Wastra sendiri dalam bahasa jawa diartikan sebagai Kain.

“Nama tersebut mempunyai makna, yakni setiap siklus hidup manusia ada tahapannya sesuai tembang macapat, dan tenun yang kami buat ini juga beragam sesuai namanya,” terangnya.

Teknik pewarnaan kain tenun produksi Omah Petruk ini menggunakan bahan-bahan dari alam seperti daun mangga, Indigofera, daun ketapang hingga limbah kulit mahoni.

Menurutnya, penggunaan pewarna alami menghasilkan rona warna yang lebih kalem ketimbang pewarna tekstil yang lebih cerah. Selain itu, dengan memanfaatkan bahan yang ramah lingkungan dirinya bisa ikut berkontribusi merawat lingkungan.

“Secara look (tampilan) memang lebih ngejreng dan cerah tenun yang warna tekstil, kalau tenun pewarna alami ini warnanya lebih adem, kalem dan kesan pastel,” sambungnya.

Saat ini, kata Romi, pemasaran kain tenun Cakra Manggilingan sudah disebarkan hingga keluar daerah, seperti Jakarta dan Bali dengan segmentasi pasar kalangan menengah ke atas.

Dirinya mematok harga per satu lembar kain tenun Cakra Manggilingan mulai dari Rp100 ribu sampai Rp850 ribu, tergantung jenis dan ukurannya.

“Yang kecil Rp100 ribu, untuk ukuran 60 cm Rp350 ribu. Kalau yang lebar 1 meter panjang 225 cm harganya Rp850ribu,” jelasnya.

Ia menerangkan dalam satu kali produksi memerlukan waktu sekitar satu bulan sebab bahan-bahan alami perlu diolah terlebih dahulu sebelum dijadikan pewarna pada kain tenun. Hal tersebut yang menjadikan harganya tergolong mahal.

“Semoga lebih banyak pelaku industri tenun yang mau menggunakan pewarna alami, sehingga bisa mengurangi dampak lingkungan,” pungkasnya. (Lingkar Network | Muhammad Aminudin – Lingkarjateng.id)

Exit mobile version