DEMAK, Lingkarjateng.id – Selama hampir empat dekade, Desa Waru, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, dikenal sebagai sentra dupa yang mengirimkan produknya ke berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Produksi pembuatan dupa bakar bertempat di Kota Wali, tepatnya berada di Desa Waru RT 04 RW 06, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak. Desa Waru, sebelumnya memiliki beberapa rumah produksi Dupa atau Hio Swa kini sudah gulung tikar dan tinggal satu rumah produksi yaitu milik Kundori.
“Hio Swa atau dupa bakar merupakan media yang biasa dipakai beberapa agama untuk menjalankan peribadatannya,” terang Kundori, baru-baru ini.
Hari Raya Imlek, Klenteng Sam Poo Kong Semarang Santuni Anak Yatim
Dia menambahkan, meski tiap tahun penganut agama Kong Hu Chu dan Hindu selalu menggelar beribadatan besar, nasib para pembuat Hio Swa tergeser oleh industri dupa yang lebih modern.
“Sudah 30 tahunan seperti ini, semenjak saya meneruskan bisnis ini dari orang tua. Dulu itu banyak rumah produksi, tapi sekarang tinggal saya dan teman-teman ini, yang lain sudah hilang,” ungkapnya.
Rumah Produksi Hio Swa milik Kundori masih menggunakan cara tradisional untuk membuat dupa bakar. Di tengah eksistensi pabrik dupa modern, rumah produksi dupa milik Kundori ini masih bertahan dengan dupa hasil sentuhan tangan.
“Soal kualitas berani bertarung dengan pabrik, tapi kalau bentuk kita kalah, karena kalau pabrik itu pakainya mesin jadi bentuknya sempurna,” paparnya.
Perayaan Imlek, Hendrar Prihadi Minta Semua Etnis Bersinergi
Menurutnya, harum aroma bunga cendana adalah jenis unggulan dupa Mranggen. Namun, tidak jarang para pembelinya meminta dupa yang tak diberi pewangi atau tawar. “Setiap hari, kami memproduksi 1.000 sampai 2.000 biji Hio Swa. Sejauh ini masih diedarkan di area lokal yaitu Semarang saja. Untuk kota lain, kami hanya menyuplai bahan,” tuturnya.
Selain itu, katanya, rata-rata 1500 per hari biasa, kalau imlek tahun ini ada peningkatan yang lumayan dibandingkan tahun lalu, tapi terkendala cuaca untuk proses penjemuran. “Satu hari biasanya menghabiskan tiga ember besar bubuk kayu jati, kalau dikira-kira mungkin 30 kg,” ungkapnya.
Dupa yang telah dilumuri serbuk kayu jati akan dicelupkan ke dalam pewarna merah. Pengecatan juga menjadi penting karena aroma harum berasal dari larutan cat. Hingga dupa kemudian dikeringkan mengandalkan sinar matahari. Jika sedang penghujan, pengeringan dupa dapat berlangsung selama 3 hari lamanya.
“Dupa kecil aroma isi 50 dijual Rp 25 ribu, sedangkan dupa batang yang besar atau tiong isi 3 dijual Rp 30 ribu. Dupa tradisional milik kami lebih murah jika dibandingkan dengan dupa impor,” pungkasnya. (Lingkar Network | M. Elang Ade Iswara – Koran Lingkar)