SEMARANG, Lingkarjateng.id — Massa buruh melakukan aski topo pepe di depan Balai Kota Semarang pada Jumat, 7 November 2025. Aksi ini sudah berlangsung dua hari.
Topo pepe merupakan bentuk protes kepada Pemerintah Kota Semarang tentang pengupahan agar berpihak kepada buruh. Sedangkan hingga hari ini belum ada penetapan upah minimum kota (UMK) dan upah minimum sektoral (UMSK) tahun 2026.
Koordinator aksi, Zaenuddin, menjelaskan bahwa istilah topo pepe diambil dari tradisi kuno masa kerajaan yang bermakna bentuk perlawanan rakyat terhadap raja.
“Pada zaman dahulu rakyat duduk diam di bawah langit langsung menghadap singgasana raja untuk menuntut keadilan. Dengan filosofi yang sama, kami menuntut Wali Kota Semarang agar berpihak pada buruh,” ujarnya.
Zaenuddin menjelaskan bahwa kebijakan pengupahan di Kota Semarang saat ini masih jauh dari kata layak, sehingga perlu adanya kenaikan upah pada tahun depan.
“Data yang dimiliki pemerintah dengan realitas di lapangan sangat berbeda. Upah buruh di Semarang masih di bawah kebutuhan hidup layak (KHL),” tegasnya.
Aksi topo pepe ini juga merupakan langkah awal untuk menggugah kesadaran pemerintah untuk menetapkan upah yang manusiawi.
“Kami berharap Wali Kota bisa menetapkan UMK dan UMSK 2026 dengan nominal yang cukup untuk kehidupan layak. Ini bukan hanya soal angka, tapi soal keadilan bagi buruh,” tegasnya.
Hingga Jumat siang, para buruh masih menunggu tanggapan resmi Pemerintah Kota Semarang yang rencananya menemui buruh siang ini pula.
“Kami sudah dua hari di sini, tapi belum ada kepastian dari Balai Kota. Tadi Ketua DPRD sempat lewat, lalu memanggil kami berdiskusi dan mendengarkan aspirasi kami. Kami apresiasi sikap DPRD yang cepat tanggap,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Semarang, Kadarlusman, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima aspirasi para buruh dan telah menindaklanjutinya.
“Ini merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya di rapat paripurna. DPRD sudah memberikan rekomendasi resmi kepada Wali Kota Semarang,” ujarnya.
Kadarlusman juga mendukung tuntutan para buruh agar Wali Kota merealisasikan penyesuaian upah yang lebih layak.
“Kami mendorong agar Wali Kota bisa segera merespons tuntutan kawan-kawan buruh. Kota Semarang ini kota metropolitan, sudah sepatutnya mampu memberikan upah yang layak, apalagi dibandingkan kota lain seperti Surabaya dan Bandung yang jauh lebih tinggi,” tuturnya.
Ia menyebut, tuntutan buruh yang menginginkan UMSK sekitar Rp4,1 juta dinilai masih wajar, terlebih jika dibandingkan dengan ibu kota provinsi lain, Kota Semarang masih menjadi yang paling rendah.
“Itu angka ideal, apalagi dengan risiko kerja di sektor-sektor tertentu yang cukup tinggi. Kalau sedikit kurang atau lebih masih bisa dibicarakan, yang penting prinsipnya adalah kehidupan layak bagi buruh,” pungkasnya.
Jurnalis: Syahril Muadz
Editor: Ulfa


































