SEMARANG, Lingkarjateng.id – Penanganan kasus dugaan perundungan (bullying) dan pemerasan yang menimpa almarhumah Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, kini memasuki babak baru.
Kuasa hukum keluarga korban, Misyal Achmad, mengungkapkan bahwa kasus dugaan perundungan di PPDS Undip segera disidangkan setelah kejaksaan menyatakan berkas perkara lengkap atau P21.
“Kalau soal perasaan dari keluarga korban, ya jelas keluarga senang. Artinya keadilan mulai terlihat dan didapatkan. Tapi perjuangan belum usai,” ujar Misyal pada Selasa, 29 April 2025.
Dalam kasus ini, terdapat tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Taufik Eko Nugroho selaku Ketua Program Studi PPDS Anestesi Fakultas Kedokteran (FK) Undip, Sri Maryani yang merupakan staf administrasi program studi (prodi), dan Zara Yupita Azra yang merupakan seorang dokter residen senior dari Aulia.
Misyal menyatakan akan segera mengirim surat permintaan penahanan ketiga tersangka kepada Polda Jawa Tengah (Jateng).
Ia menyebutkan bahwa sebelumnya, Polda Jateng telah menyampaikan komitmennya bahwa jika berkas dinyatakan P21, maka para tersangka akan segera diperiksa dalam tahap dua dan langsung ditahan.
Proses penahanan, lanjut Misyal, sebelumnya berjalan alot karena terdapat batas waktu tertentu untuk menahan seseorang dalam tahap penyidikan.
“Kalau berkas belum lengkap dan pelaku sudah ditahan, sementara audit belum selesai, maka mereka bisa dibebaskan demi hukum. Ini bisa membuat institusi penegak hukum terlihat tidak profesional,” ungkapnya.
Namun, setelah berkas dinyatakan lengkap dan jaksa yakin bahwa kasus tersebut dapat disidangkan, maka proses penahanan bisa dilakukan tanpa melanggar batas waktu hukum yang ditentukan.
Misyal juga menyoroti bahwa kasus PPDS Undip merupakan yang pertama kali di Indonesia, yang mana dugaan bullying di lingkungan pendidikan kedokteran berhasil masuk ke tahap penegakan hukum yang serius.
Ia mendorong pembentukan Satgas Anti-Bullying oleh Kementerian Kesehatan sebagai langkah preventif ke depan.
“Baru pertama kali dalam sejarah, kasus bullying bisa seperti ini. Dari dulu tidak pernah terungkap. Mana ada dokter-dokter senior yang mengakui bahwa bullying itu nyata? Semua menolak,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa mentalitas dalam pembentukan dokter spesialis di Indonesia, terutama dalam kasus Undip, dinilai bermasalah dan perlu pembenahan menyeluruh.
“Kalau mentalnya sudah dirusak sejak pendidikan, bagaimana bisa mencetak dokter yang baik?” pungkasnya. (Lingkar Network | Rizky Syahrul Al-Fath – Lingkarjateng.id)