KUDUS, Lingkarjateng.id – Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kudus, Muhammad Kirom, mengungkapkan bahwa kebijakan efisiensi anggaran dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 menyebabkan penurunan pendapatan hotel, terutama dari kegiatan Meeting, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE) yang berasal dari pemerintah.
Bahkan, kata Kirom, kebijakan tersebut bisa menurunkan pendapatan hotel di Kudus hingga 30 persen.
“Dengan adanya efisiensi anggaran, sektor jasa akomodasi seperti hotel bintang di Kudus mengalami dampak, terutama dari berkurangnya penyelenggaraan acara pemerintah di hotel,” katanya di Kudus pada Selasa, 18 Februari 2015.
Namun, lanjutnya, dampak yang terjadi pada hotel di Kudus tidak seburuk di kota-kota besar seperti Semarang atau Jakarta. Hal itu karena karakter perhotelan di Kudus masih didominasi oleh tamu yang menginap, baik dari sektor industri maupun wisatawan.
“Di kota besar, pendapatan hotel banyak bergantung pada event-event MICE. Namun, di Kudus, masih ada tamu dari sektor industri dan wisata, jadi penurunannya tidak terlalu drastis,” ungkapnya.
Meski demikian, PHRI Kudus tetap mencari solusi agar industri perhotelan tetap bertahan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah menawarkan alternatif bisnis seperti penyewaan dapur kepada restoran yang membutuhkan fasilitas masak besar, penyediaan layanan katering, serta pengembangan paket wisata berbasis hotel.
“Beberapa hotel sudah menawarkan penyewaan dapur ke restoran dan jasa boga lainnya. Ini menjadi solusi untuk mengoptimalkan fasilitas yang ada,” jelasnya.
Selain itu, hotel-hotel di Kudus juga mulai beradaptasi dengan konsep hybrid event, yaitu mengombinasikan pertemuan offline dan online untuk tetap menarik pasar dari sektor bisnis dan pemerintahan yang mulai beralih ke sistem daring.
Terkait kemungkinan revisi kebijakan, Kirom berharap ada pertimbangan dari pemerintah pusat untuk memberikan kelonggaran bagi industri perhotelan yang masih dalam tahap pemulihan pasca pandemi.
“Kami berharap ada peninjauan kembali terhadap kebijakan ini, karena sektor perhotelan masih dalam tahap pemulihan pasca pandemi. Kebijakan efisiensi anggaran memang penting, tetapi sebaiknya ada keseimbangan agar industri ini tetap bisa bertahan,” harapnya.
Di tingkat nasional, PHRI telah mengajukan audiensi dengan pemerintah pusat untuk menyampaikan dampak kebijakan ini terhadap industri perhotelan. Sementara itu, di tingkat daerah, PHRI Kudus terus melakukan komunikasi dengan pemangku kebijakan untuk mencari solusi terbaik bagi sektor jasa akomodasi di wilayah setempat.
“Efisiensi anggaran memang perlu, tetapi sektor pariwisata, termasuk perhotelan, juga perlu mendapatkan perhatian. Kami akan terus berupaya agar industri ini tetap berjalan dengan berbagai inovasi,” pungkasnya. (Lingkar Network | Nisa Hafizhotus S. – Lingkarjateng.id)