JEPARA, Lingkarjateng.id – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara tetap memberlakukan kebijakan enam hari sekolah. Kebijakan ini diambil usai Bupati Jepara, Witiarso Utomo (Mas Wiwit), beraudiensi dengan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara di Gedung Shima pada Kamis, 14 Agustus 2025.
Bupati Wiwit mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah pertimbangan yang menjadi dasar pengambilan keputusan tersebut, mulai dari pijakan regulasi hingga adanya hasil penelitian terkait dampak negatif yang muncl dari pemberlakuan lima hari sekolah.
Sebelumnya, kata dia, Pemkab Jepara telah menerima audiensi dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang mengusulkan lima hari sekolah, kemudian disusul oleh Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) dan Ma’arif NU Jepara yang menghendaki enam hari sekolah.
“Dari audiensi itu ada beberapa argumen dan masukan dari masing-masing pihak. Termasuk pandangan dari Ketua Dewan Pendidikan Jepara, Prof. Mustaqim yang ikut hadir dalam audiensi dengan PCNU Jepara kali ini. Tadi beliau menerangkan tentang efek negatif lima hari sekolah terhadap karakter anak didik,” kata Wiwit.
“Data dari Unnes menunjukkan, jika libur dua hari, waktu anak bermain media sosial bisa meningkat dari 7 jam menjadi 15 jam, dan mayoritas penggunaan media sosial itu tidak menunjang pendidikan, bahkan cenderung untuk hal negatif,” sambungnya.
Menurutnya, pandangan dari pakar pendidikan ini juga menjadi salah satu pertimbangan utama yang diambil Pemkab Jepara. Selain itu, hingga kini, Perbup Nomor 43 tahun 2009 tentang pemberlakuan enam hari kerja untuk bidang kesehatan dan pendidikan juga masih berlaku.
“Kami ingin memastikan generasi muda Jepara tumbuh menjadi generasi yang berakhlak mulia. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan kebijakan enam hari sekolah sambil terus membuka ruang komunikasi dengan semua pihak, termasuk PGRI, agar dapat memahami latar belakang keputusan ini,” imbuhnya.
Sementara itu, Prof. Mustaqim menambahkan bahwa penguatan karakter siswa memerlukan waktu belajar yang cukup, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
“Karakter bangsa ada 18, dan yang pertama adalah karakter religius. Saat ini, porsi pelajaran agama (PAI) di sekolah umum sangat sedikit, SD hanya 9 persen, SMP 5 persen, dan SMA/SMK 4 persen,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya penguatan pendidikan agama melalui kegiatan ko-kurikuler. Di Jepara, hal ini telah didukung oleh NU melalui pendidikan diniyah, madrasah, dan pesantren di sore hari setelah siswa pulang sekolah.
“Ini menjadi penguatan utama terhadap pendidikan agama yang ada di sekolah,” jelas Prof. Mustaqim yang juga Wakil Rais Syuriah PCNU Jepara.
Jurnalis: Tomi Budianto
Editor: Rosyid


































