Pengamat Sebut Dasar Hukum KPU Kendal Menolak Pendaftaran Dico-Ali Keliru

Bupati Kendal, Dico M. Ganinduto, saat memberikan keterangan terkait gugatanya di Bawaslu Kendal, baru-baru ini. (Syahril Muadz/Lingkarjateng.id)

KENDAL, Lingkarjateng.id – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kendal mendapat sorotan dari seorang pengamat politik dan dosen Ilmu Politik di FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Ahmad Rofiq, setelah mengembalikan berkas pendaftaran pasangan Dico M. Ganinduto-Ali Nurudin. Diketahui, dalam pengembalian berkas pendaftaran Dico-Ali tersebut KPU Kendal berpedoman pada PKPU nomor 8 tahun 2024 pasal 100.

Rofiq menilai KPU Kendal patut diduga telah melakukan penghalangan hak partai politik dan warga negara untuk mendaftarkan diri dalam Pilkada. Menurutnya, sudah semestinya pendaftaran pasangan calon peserta Pilkada itu diterima dan tidak langsung ditolak begitu saja.

“Karena masih ada ruang penetapan calon peserta Pilkada oleh KPUD. Adapun dengan adanya kemungkinan partai politik mendaftarkan dua calon maka harus ada klarifikasi, sebagaimana ketentuan pasal 12 PKPU nomor 8 tahun 2024, bukan langsung ditolak”, terang Rofiq pada Kamis, 5 September 2024.

Selain itu, ia juga menyatakan bahwa tindakan KPU Kendal yang melakukan pengembalian berkas pendaftaran pasangan calon dapat berakibat sengketa dan perlu penyelesaian oleh Bawaslu. Dan apabila ada pelanggaran, kata Rofiq, bisa dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP)

Rofiq pun menyoroti keterangan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PKB Kendal yang menyatakan tidak pernah menarik usulan paslon Tika-Benny yang mendapat SK tertanggal 21 Agustus 2024, dan sudah didaftarkan tanggal 29 Agustus 2024 pada jam 10.00 WIB.

“Kemudian, yang dilakukan PKB Kendal pada tanggal 29 Agustus 2024 pukul 21.00 WIB adalah mendaftar kembali usulan paslon Dico-Ali Nurudin berdasarkan SK tertanggal 24 Agustus 2024. Sehingga dalam hal ini PKB, tidak pernah melakukan pencabutan paslon,” jelasnya.

Oleh karena itu, Rofiq menilai seharusnya KPU Kendal menggunakan ketentuan pasal 12 PKPU nomor 8 tahun 2024, yaitu harus melakukan klarifikasi ke pengurus partai politik tingkat pusat melalui KPU RI.

“Jadi penggunaan norma pasal 100 PKPU untuk menolak pendaftaran paslon tidak tepat alias keliru,” ujarnya.

Lebih lanjut, Rofiq menjelaskan terkait norma dari pasal 100 PKPU. Menurutnya, riwayat dari pasal tersebut adalah untuk mengantisipasi atau memagari supaya tidak ada paslon yang mundur (menarik pengusulan) setelah mendaftar, agar tahapan Pemilu tetap berjalan.

“Makanya, pada ayat berikutnya yaitu ayat kedua menyebutkan, meskipun ada paslon yang mengundurkan diri dari pendaftaran, statusnya tetap tidak mengundurkan diri, tetap diikutkan sebagai peserta Pilkada. Dengan demikian tahapan Pilkada tetap jalan,” terangnya.

Sedangkan, lanjut Rofiq, isi pasal 100 PKPU juncto pasal 43 dan 53 UU Pilkada bukan mengenai boleh tidaknya parpol mendaftarkan usulan paslon lebih dari dua kali. Namun, konstruksi dari pasal 100 itu untuk memastikan tahapan Pilkada tetap berjalan dan paslon tidak boleh mengundurkan diri (ditarik dari pendaftaran usulan).

“Jadi salah satu alasannya ya karena negara sudah keluarkan anggaran. Kalaupun mengundurkan diri, dianggap tidak mengundurkan diri, begitu,” jelasnya.

Sehingga, Rofiq menilai penggunaan pasal 100 oleh KPU Kendal tidak tepat dan dapat menghilangkan hak konstitusional pada paslon.

“KPU Kendal menggunakan pasal 100 PKPU sebagai dasar untuk menolak pendaftaran paslon, jelas penggunaan ketentuan aturan yang keliru ini berakibat pada hilangnya hak paslon untuk mengikuti Pilkada. Padahal syarat dukungan parpol dan syarat calon sudah lengkap dan memenuhi syarat,” pungkasnya. (Lingkar Network | Syahril Muadz – Lingkarjateng.id)

Exit mobile version