SEMARANG, Lingkarjateng.id — Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah menolak penerapan kembali kebijakan enam hari sekolah di SMA/SMK.
PGRI Jateng menilai kebijakan lima hari sekolah yang berjalan sejak 2017 sudah sesuai dengan perkembangan anak, kebutuhan keluarga, dan ritme kerja guru.
“Dari awal lima hari sekolah itu diambil agar anak memiliki dua hari untuk keluarga. Tugas mendidik utama adalah orang tua, sekolah membantu. Anak juga perlu waktu berinteraksi di masyarakat,” kata Ketua PGRI Jateng, Muhdi, seusai upacara peringatan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI di halaman Kampus 4 Universitas PGRI Semarang (Upgris)., Selasa, 25 November 2025.
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maemoen, merespons penolakan itu sebagai hal yang wajar. Ia memastikan Pemprov Jateng segera melakukan koordinasi dengan pihak terkait, termasuk Universitas PGRI Semarang (Upgris) yang dilibatkan dalam kajian kebijakan tersebut.
“Maka nanti kita sepakat untuk bertemu dulu karena salah satu yang kita libatkan itu dari kampus Upgris untuk membahas mengenai 5 hari atau 6 hari. Jadi kalau belum sampai ke Ketua PGRI Jateng, karena beliau kan juga anggota DPD, habis ini kita sampaikan,” ujarnya, Selasa, 25 November 2025.
Wagub Jateng mengatakan kebijakan enam hari sekolah masih dalam tahap pengkajian dan belum akan diterapkan pada 2026. Ada sejumlah teknis kebijakan dalam pembahasan.
“Pengurangan jam tetap ada, kita alihkan ke hari Sabtu dan kita isi dengan hal yang menarik untuk kompetensi siswa agar lebih menguasai bidang yang ditekuninya. Misal dia ingin jadi direktur, apa kompetensinya nanti kita isi di situ,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Jawa Tengah, Syamsudin Isnaeni, menegaskan bahwa wacana enam hari sekolah masih dalam proses kajian. Berbagai aspek perkembangan anak dan mutu pendidikan tengah menjadi bahan pertimbangan.
“Kita harus melihat fenomena perkembangan anak saat ini. Jadi kalau berbicara tentang kebijakan, saat ini belum ditetapkan dan masih dalam proses kajian,” ujarnya.
Syamsudin menambahkan, evaluasi terhadap penerapan lima hari sekolah selama tujuh tahun terakhir menjadi dasar penting sebelum memutuskan perubahan sistem. Pihaknya menilai ada kelebihan dan kekurangan pada masing-masing opsi.
“Ketika lima hari sekolah, saat hari Sabtu libur harapannya siswa bisa berinteraksi dengan orang tua serta kegiatan ekstrakurikuler bisa maksimal. Tapi kalau orang tua bekerja pada hari itu, dari pengamatan kita malah anak-anak lebih sering bermain gadget yang tidak kenal waktu,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti kondisi ketahanan fisik dan fokus belajar siswa pada jam belajar siswa yang cukup menguras tenaga dan pikiran.
“Penerapan 5 hari sekolah, tingkat performa ketahanan anak setelah jam belajar jam 1 tidak prima seperti pagi hari,” tuturnya.
Ia berharap kebijakan yang dihasilkan nantinya benar-benar berdampak positif pada mutu pendidikan dan perkembangan siswa.
Jurnalis: Rizky Syahrul
Editor: Ulfa

































