JEPARA, Lingkarjateng.id – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jepara mengusulkan adanya regulasi Peraturan Daerah (Perda) tentang hukum perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal ini diungkapkan oleh anggota DPRD Jepara dari Fraksi Partai Gerindra, Purwanto dalam Sosialisasi Perlindungan Perempuan dan Anak terhadap tindak kekerasan di SO Cafe Desa Kelet, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara pada Selasa, 6 September 2022.
“Sepanjang tahun 2020 ada sebanyak 32 kasus. Sementara tahun 2021 ada total 51 kasus. Data itu dihimpun dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Jepara. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanganan sangat mendesak untuk dilakukan,” kata Purwanto.
Menurutnya, Kabupaten Jepara telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang kekerasan perempuan dan anak. Hal ini dituangkan dalam Perda Nomor 2 tahun 2022 tentang perubahan atas Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak di mana pemerintah mempunyai peranan yang luas dalam melindungi (perempuan dan anak dari kekerasan, red) dan mewujudkan Jepara sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA).
“Saya prihatin terhadap meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak dan kaum perempuan di Jepara terutama di wilayah Jepara Utara ini. Sering sekali kita mendengar informasinya, maka perlu adanya regulasi,” imbuhnya.
Ia menambahkan, hal ini berbanding terbalik dengan penghargaan KLA yang diraih Kabupaten Jepara beberapa waktu lalu, namun angka kekerasan perempuan dan anak justru masih tinggi. Oleh karena itu, lanjut dia, harus ada upaya nyata dari pemerintah daerah untuk mengimplementasikan Perda tersebut sehingga angka kekerasan perempuan dan anak dapat berkurang.
“Percuma kalau hanya bagus di laporan dan programnya saja tapi fakta di lapangan malah sebaliknya, tentu sangat disayangkan,” tandasnya.
Selain itu, pihaknya mengajak kepada seluruh pemerintah terkait mulai dari desa, kecamatan hingga kota untuk saling bersinergi. Sebab, tidak mungkin untuk mengatasi ini sendiri. Perlu ada bantuan dan keterlibatan pihak lainnya termasuk masyarakat agar pencegahan dapat dilakukan dengan lebih baik.
Sementara itu, Plt Kepala DP3AP2KB Jepara, Fahruddin mengatakan bahwa pelaporan kasus kekerasan bukan sebuah aib dan tidak selalu melalui hukum, melainkan bisa melalui mediasi dengan melibatkan Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) terkait.
Menurutnya, kekerasan terjadi bukan hanya faktor ekonomi melainkan dipengaruhi oleh faktor manusia itu sendiri. Namun ia juga menambahkan pemberdayaan perempuan lebih besar di bidang ekonomi.
“Dengan ekonomi yang berdaya, perempuan diharapkan mampu menolong diri sendiri dan otomatis dia mampu menolong anak-anaknya,” katanya.
Lanjut Fahruddin, untuk masyarakat yang mengalami tindakan kekerasan, pihaknya juga melakukan penguatan kelembagaan bekerja sama dengan Polres Jepara, membuat standar operasional pelayanan pengaduan, sosialisasi mengenai pencegahan kekerasan anak dan perempuan, pengadaan kajian bersama perguruan tinggi dan integrasi data oleh Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jepara.
“Korban akan kita lakukan pendampingan atau asesmen dengan harapan semua permasalahan yang terjadi bisa dimediasi dengan baik atau jika harus ke hukum, kita akan memberikan pendampingan dan bantuan. Kita juga menyediakan psikolog klinis dan lembaga bantuan hukum dan itu tidak berbayar,” terangnya. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)