Perajin Pawon di Blora Rela Menantang Maut di Gua Demi Nafkahi Keluarga

BEKERJA: Perajin pawon, Waji, saat berada di dalam gua yang berada di Dukuh Ningalan, Desa Ngraho, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora. (Hanafi/Lingkarjateng.id)

BEKERJA: Perajin pawon, Waji, saat berada di dalam gua yang berada di Dukuh Ningalan, Desa Ngraho, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora. (Hanafi/Lingkarjateng.id)

BLORA, Lingkarjateng.id – Puluhan warga Dukuh Ningalan, Desa Ngraho, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora harus rela menantang maut demi menghidupi keluarga. Di era modern dengan segala kemudahan, mereka masih bertahan membuat tungku tradisional atau pawon sebagai sumber penghasilan.

Sejak pagi buta mereka harus memasuki gua yang bisa saja rubuh dan menimpa mereka setiap saat. Namun, risiko berat sebagai perajin pawon itu tetap dipilih demi bisa menafkahi anak istri.

Adalah Waji (35), salah satu dari puluhan warga Dukuh Ningalan yang menjadi perajin pawon dari tanah padas. Berbekal perlengkapan seadanya, ia menghabiskan waktu seharian di dalam gua gelap dan minim oksigen untuk mengambil bakalan (bahan membuat tungku). Gua sedalam kurang lebih 100 meter itu menjadi saksi perjuangan Waji.

“Saya hanya berbekal senter di kepala. Dengan peralatan kapak dan gergaji untuk bisa ambil tanah padas,” ucap Waji, pada Selasa, 11 Juli 2023.

Meskipun risiko tanah longsor menghantui, tetapi tidak menyurutkan tekad Waji untuk terus bekerja. Bahkan ia sudah lama berkecimpung menjadi perajin pawon.

“Saya sejak umur belasan tahun sudah menggeluti pekerjaan ini. Jadi risiko sudah tidak saya hiraukan,” ungkapnya.

Waji menjelaskan, penghasilan yang ia dapat setiap hari memang tidak seberapa. Untuk pawon ukuran sedang dengan panjang 70 cm dihargai tengkulak Rp 20 ribu. Sementara pawon dengan panjang 1 meter dihargai Rp 30 ribu.

“Sehari paling banyak cuma bisa dapat 3 buah,” ujarnya.

Terpisah, Rahmat, tenaga manol (pengangkut pawon) mengaku hanya bekerja sebagai tukang angkut pawon yang sudah diproduksi perajin. Dalam sekali angkut dari mulut gua yang berada di dalam hutan, ia hanya mendapatkan upah Rp 3 ribu.

“Dalam sehari pendapatan bersih cuma dapat Rp 65 ribu,” katanya.

Ayah 1 anak ini menjelaskan, dulu ia mengangkut pawon dengan cara dipikul. Semakin maju digerobak, dan sekarang diangkut menggunakan motor. Kendati hasil yang didapatkan tak seberapa, namun pekerjaan itu tetap ia lakoni sejak umur 10 tahun.

“Cuma kalau pakai motor harus kepotong bensin. Gak ada pilihan lain,” pungkasnya. (Lingkar Network | Hanafi – Lingkarjateng.id)

Exit mobile version