KENDAL, Lingkarjateng.id – Para mustahik binaan Zakat Community Development (ZCD) Baznas yang tergabung dalam Kelompok Mina Makmur Desa Kalirejo, Kecamatan Kangkung, Kabupaten Kendal, berhasil meningkatkan pendapatan dengan menjual 568 Kilogram ikan lele dengan total Rp11.360.000.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Kendal, Joko Suprayoga mengatakan, Ini membuktikan bahwa budidaya lele sudah naik kelas. Budidaya lele semula dipandang sebelah mata, bahkan banyak yang menganggap kegiatan ini sebagai bisnis kelas comberan yang sepele. Banyak yang mengira bahwa budidaya lele dilakukan serampangan, jorok, dan tidak memperhatikan kesehatan.
Ia menjelaskan, terkait upaya mengubah citra budidaya lele bukan lagi sebagai budidaya kelas comberan, sekelompok mustahik yang tergabung dalam Kelompok Mina Makmur mengembangkan budidaya lele sistem kolam bundar sebanyak 60 kolam.
“Inilah kenapa, budidaya ikan lele sebagai salah satu alternatif pencaharian terus digalakkan. Pasalnya, budidaya lele memiliki beberapa keunggulan, yaitu dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air terbatas dengan padat tebar tebar tinggi, teknologi budidayanya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, pemasarannya relatif mudah, pertumbuhan lele cepat dan tahan terhadap penyakit, menyerap banyak tenaga kerja, serta modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah,” jelas Joko, pada Kamis, 9 November 2023.
Ia menyampaikan, jika menebar benih lele dengan ukuran 3-5 cm maka akan panen dalam waktu sekitar 2,5. Tidak membutuhkan waktu yang lama seperti ikan lainnya. Menurutnya, usaha ini tidak membutuhkan areal yang luas karena di lahan yang terbatas juga bisa.
“Dengan menggunakan kolam yang beralaskan plastik terpal atau HDPE/LDPE. Sumber air tidak terlalu sulit, bisa menggunakan air sumur atau air dari PDAM. Budidaya saat ini tidaklah mahal. Ada teknologi budidaya lele yang berkembang di masyarakat, ada cara alami (natural water system), ada teknologi bioflok, atau dengan sentuhan probiotik, agar kualitas air dapat terjaga dengan baik sehingga ikan lele nyaman dan sehat. Usaha ini bisa memberdayakan para ibu rumah tangga untuk merawatnya,” ungkapnya.
Hasilnya, lanjut Joko, budidaya lele kemudian “ditiru” dimana-mana, lele kini menjelma menjadi industri rakyat Kendal. Ia mengatakan, nilai perdagangannya setiap tahun mencapai miliaran rupiah, penyerapan tenaga kerja, nilai tambah, dan multyplayer effect yang dihasilkan juga besar.
“Semakin besar lagi perputaran ekonomi kalau menghitung berapa ratus pedagang di seluruh Kendal berjaya berkat lele, baik dalam bentuk warung tenda maupun produk olahan,” lanjutnya.
Menurutnya, melihat potensinya yang besar di Kendal, sehingga dilakukan pengembangan usaha berbasis lele dengan kampanye makan lele. Apalagi seiring melemahnya daya beli masyarakat akibat berbagai tekanan ekonomi, lele semakin diminati. Selain murah, kandungan protein pada lele tinggi.
“Konsumen lele juga menyebar luas dari desa hingga ke kota. Tidak saja rakyat jelata yang makan di warung-warung tenda dengan sambal terasi dan lalapan, tetapi merambah konsumen menengah ke atas. Perubahan status sosial komoditas lele telah merangsang tumbuhnya berbagai inovasi usaha dalam teknologi pengolahan pangan,” tuturnya.
Tidak aneh, di Kendal mulai dipikirkan untuk mampu mengolah ikan lele menjadi bakso lele, mie basah lele, lele asap, abon lele, kerupuk lele, dan sebagainya. Diyakini, jika usaha pengembangan olahan ikan lele ini berhasil akan mampu menyerap ibu-ibu rumah tangga memperoleh “pekerjaan”. Sebab pekerjaan membuat abon, mie, kerupuk, dan bakso lele itu dapat digunakan sebagai mata pencaharian baru.
“Tanpa disadari, kini budidaya lele marak di seantero Kendal. Komoditas perikanan air tawar ini, kini menjelma menjadi industri rakyat. Dibudidayakan lebih dari 1.440 orang dengan luas areal kolam 18.200 meter persegi. Nilai perdagangannya setiap tahun mencapai puluhan miliar rupiah,” imbuh Joko.
Berdasarkan data Perikanan Kabupaten Kendal tahun 2021 menunjukan produksi lele Kendal mencapai 3.058 ton. Apabila dirupiahkan, produksi lele 3.058.000 kilogram per tahun senilai Rp 61,1 milar, dengan asumsi harga lele konsumsi Rp 20 ribu per kilogram.
Joko berpesan, bahwa harga ikan itu fluktuatif. Ini sebuah hukum alam tentang supply and demand. Jika pasokan barang berlimpah maka akan mempengaruhi harga pasar (cenderung harga murah), demikian sebaliknya.
“Oleh karena itu, siapapun yang masuk dalam dunia bisnis, tetap harus memiliki jiwa entrepreneur, yaitu tahan uji, penuh perhitungan, berani mengambil risiko, mengelola bisnis secara benar dan terencana. Jika sebuah bisnis apapun yang manajemennya amburadul, maka pelakunya akan sulit survive dan rentan pada kegagalan,” pesan Joko Suprayoga di penghujung wawancara.
Sementara itu, salah satu anggota Kelompok Mina Makmur, Rusdi mengaku bahwa, hasil penjualan saat ini sangat baik.
“Alhamdulillah hasil penjualan ternak lele kali ini sangat menggembirakan. Dengan harga jual per kilogram Rp 20 ribu, kelompok mustahik ini berhasil mendapatkan penghasilan lebih dari Rp 11 juta,” ungkap Rusdi. (Lingkar Network | Arvian Maulana – Koran Lingkar)