JEPARA, Lingkarjateng.id – Polemik sengketa lahan yang terjadi antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara dengan salah satu warga berinisial AHS terus berlangsung.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kepala Bidang Akuntansi dan Aset BPKAD Jepara Karunatiti menjelaskan, Pemkab Jepara memperoleh hibah aset berupa tanah dan bangunan sungai dari PT CJP.
Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Serah Terima Nomor 600/2514 tanggal 15 April 2015. Yang mana disebutkan dalam Pasal 1 bahwa, “PIHAK KEDUA dengan ini menyerahkan Ruas Sungai Baru beserta dengan tanahnya, termasuk segala hak dan kewajiban yang timbul dari dan berkaitan dengan Ruas Sungai Baru beserta dengan tanahnya tersebut kepada PIHAK PERTAMA dan PIHAK PERTAMA dengan ini menerima penyerahan Ruas Sungai Baru beserta dengan tanahnya dari PIHAK KEDUA.”
Rincian mengenai tanah Ruas Sungai Baru adalah sebagaimana terlampir dalam Lampiran yang merupakan satu kesatuan dengan Berita Acara ini. Selanjutnya, pada tahun 2017 dari PT CJP menyerahkan sertifikat tanah Hak Pakai 14 kepada Pemkab yang selanjutnya Pemkab Jepara melakukan pencatatan dalam daftar barang milik daerah.
“Daftar Barang Milik Daerah yang merupakan bagian dari Neraca Daerah yang merupakan Aset Tetap Juga sudah diaudit oleh BPK,” jelas Karunatiti.
Dalam berita acara serah terima tersebut, PT CJP selaku Pihak Kedua telah menyatakan bahwa sepanjang sepengetahuan pihak kedua (PT CJP) dan sesuai dengan pernyataan tidak dalam sengketa yang diberikan oleh para pemilik tanah.
“Artinya pihak kedua (PT CJP) telah menjamin bahwa tanah yang dihibahkan kepada Pemkab Jepara tersebut tidak dalam masalah atau sengketa,” sambungnya.
Ia menjelaskan terkait yang dimaksud pada PP Nomor 27 Tahun 2014 pengamanan administrasi sudah dilakukan oleh Pemkab Jepara.
Menurutnya, yang perlu digarisbawahi jika tanah tersebut diperoleh dari hibah, maka cukup dengan berita acara serah terima dan didukung bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah di mana PT CJP selaku pihak kedua yang menyerahkan sudah memastikan administrasi dokumen dan lahan tersebut tidak dalam masalah atau sengketa sebagaimana yang tercantum dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan tentang Barang Milik Negara/Daerah yang telah diubah PP nomor 28 tentang Perubahan Atas Peraturan sebagaimana dengan Tahun 2020 Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014.
“Beda halnya kalau lahan tersebut diperoleh melalui pengadaan (menggunakan anggaran, Red.) maka harus ada dokumen bukti perolehan, pengadaan, pembayaran, serta Berita Acara Pengukuran atas Barang Milik Daerah di samping sertifikat tanah,” terangnya.
Hal senada juga disampaikan Kepala Bagian (Kabag) Hukum Sekretariat Daerah (Setda) Jepara Wafa Elvi Sahiroh bahwa pengamanan aset tercantum dalam pasal 42 PP 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah sebagaimana telah diubah dengan PP 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014.
“Jadi PP nomor 27 masih berlaku,” tandas Wafa.
Sementara itu, AHS merasa dizalimi karena dirinya merasa telah membeli lahan tanah tersebut dalam keadaan aman dan tidak ada permasalahan. Bahkan dirinya mengaku kalau keamanan lahan tanah tersebut juga telah dikuatkan dengan pendapat Kepala BPN Jepara yang menyebutkan kalau dari penelusuran yang dilakukan lahan tanah tersebut dalam keadaan tidak bermasalah.
AHS menyebutkan, meskipun Sekda Edy ngotot mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan milik Pemkab Jepara dengan bukti kepemilikan berupa Hak Pakai Nomor 14. Namun pihak Pemkab tidak bisa menunjukkan surat Hak Pakai tersebut saat cek lokasi di lapangan maupun saat mediasi di hadapan Bapak Pj Bupati, Forkompimda, KPK, BPN dan jajarannya.
“Sesuai perintah dan instruksi Pj Bupati waktu itu agar dibuka datanya, tapi malah diabaikan. Saya punya rekaman video Pj Bupati memerintahkan untuk buka data saat itu, tapi sampai sekarang tidak dilaksanakan. Malah ini mengirimkan surat teguran kedua,” terang AHS.
Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Jepara, kedua sertifikat, baik yang dimiliki AHS maupun yang digenggam Pemkab Jepara sama-sama sah dan legal.
Hal ini diungkapkan oleh Kasi Penetapan Hak dan Pendaftaran (PHP) Kepala Kantor Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Jepara Radiyanto.
“Dalam sengketa tersebut masing-masing pihak mengklaim kepemilikan tersebut dengan bukti yang dimiliki, Pemkab dengan sertifikat HP Nomor 14 dan AHS dengan sertifikat HM nomor 454,” ungkapnya.
Menurut Radiyanto, kedua sertifikat tersebut sama-sama masih hidup artinya sama-sama sah dan tercatat resmi di BPN, sehingga memang perlu adanya pendalaman asal-usul kepemilikan kedua sertifikat tersebut.
“Secara administrasi dua-duanya masih hidup. Solusinya menempuh upaya hukum kalau dua-duanya tidak bisa dipertemukan dalam mediasi untuk menentukan siapa yang berhak dan berkuatan hukum tetap,” tegasnya.
Ia menerangkan, sebagai dasar terbitnya sebuah sertifikat, baik HM atau HP didasarkan pada surat girik atau Leter C yang dikeluarkan oleh desa, sebagai catatan bahwa Leter C hanya bisa digunakan satu kali dalam penerbitan sertifikat.
“Jadi harus diketahui dulu asal pemecahan hak pakai itu dasarnya dari mana, kalau berasal dari Leter C yang sama, maka perlu dipertanyakan karena penggunaan Leter C hanya bisa dilakukan satu kali setelah diterbitkan (SHM/HP) oleh BPN,” jelasnya.
Pihaknya pun menyarankan agar dilakukan mediasi antara kedua belah pihak untuk penyelesaian kasus sengketa lahan tersebut. BPN Jepara siap menjadi mediator dan fasilitator kedua belah pihak yang bersengketa.
Terkait penempatan personil Satpol PP di lokasi sengketa, Kepala Kepala Bidang Penegakan (Kabid) Penegakan Perundang-undangan, Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat Satpol PP Jepara Abdul Khalim mengatakan, hal ini sesuai dengan petunjuk pimpinan dan Sekretaris Daerah (Sekda) untuk mengamankan lahan tersebut.
Mengingat lahan tersebut diklaim aset Pemda yang tercatat sebagai Aset Pemkab Jepara dengan bukti kepemilikan Hak Pakai Nomor 14.
“Sebelumnya sudah disampaikan surat teguran pertama, kedua, dan ketiga sampai akhirnya yang bersangkutan membongkarnya sendiri. Namun setelah membongkar sendiri itu, dia (AHS) menempatkan/memasukkan batu-batu yang ditempatkan di jalan yang diklaim sebagai lahannya dan akhirnya ‘kan tetap mengganggu,” ungkap Abdul Khalim.
Ia menjelaskan, pihaknya menempatkan petugas Satpol PP bersamaan dengan personil TNI dan Polri sebagai komitmen dari Forkompimda untuk mengamankan aset daerah yang sifatnya pengamanan dan pemantauan. Namun, jika memang terjadi pemaksaan atau terjadi upaya-upaya mengganggu (pengurukan lahan, Red.) oleh AHS, maka sebisa mungkin pihaknya melakukan pengamanan untuk mencegahnya.
“Kami menyadari bahwa di lapangan akan terjadi argumentasi-argumentasi yang mengarah cenderung kepada pemaksaan. Untuk menghindari gesekan-gesekan, kami juga menyiapkan langkah-langkah berikutnya yang lebih komprehensif dan masif untuk menghentikan upaya-upaya tersebut,” terangnya.
Demi kondusivitas daerah, pihaknya mengajak masyarakat sama-sama menjaga dan menghormati keputusan Pemkab.
“Terkait masalah hukum dan lain-lain, silakan diselesaikan pada tempatnya, sehingga tidak mengganggu proses pembangunan yang telah berlangsung. Jadi saya tegaskan, kami tidak menghalang-halangi atau melarang warga yang melewati jalan tersebut karena memang dibangun untuk fasilitas umum,” pungkasnya.
Terpisah menanggapi polemik sengketa tanah, Anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jepara Padmono Wisnugroho turut angkat bicara.
Menurutnya permasalahan tersebut harusnya diselesaikan dulu dengan mengundang para pihak antara pemilik lahan, dalam hal ini Pemkab Jepara, pemilik lahan AHS, PT. CJP, Pemerintah Desa, ahli waris, dan pihak terkait lainnya. Namun jika hasil mediasi deadlock, maka baru dilanjut ke ranah hukum.
“Siapa tahu munculnya sertifikat rapi tidak diikuti balik nama tumpi (Leter C). Kemudian ada yang menjual ke PT. CJP atau lainnya, bisa jadi seperti itu, dan ini sayangnya pihak desa tidak dilibatkan. Harusnya pihak desa tahu terkait masalah administrasi jual beli dan lainnya,” kata anggota DPRD Jepara yang akrab disapa Wisnu.
Ia menyebutkan, sebagai langkah awal dirinya mempersilahkan pihak-pihak terkait untuk menggelar audiensi di Kantor DPRD untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Apabila membutuhkan waktu lama kita siap memfasilitasi (audiensi, red) untuk menghindari tekanan-tekanan dari pihak lain. Kalau masih mentok ya memang harus ke Pengadilan, jadi kurang pas kalau langsung memberikan teguran tanpa didahului mediasi,” terang Wisnu.
Ia menambahkan, setiap jalan yang dibangun harus mempertimbangkan penerima manfaat, misal membangun jalan di tengah sawah istilahnya JUT (Jalan Usaha Tani), maka penerima manfaatnya harus jelas berapa orang.
“Jadi penerima manfaatnya kalau cuma sedikit ya tidak, apalagi tidak ada penerima manfaatnya, mubazir kita bangun jalannya. Ketika jalan tersebut mengarah ke PLTU, penerima manfaatnya siapa, asalnya jalan apa, kalau berasal dari SHM atau tanah pemajakan, kenapa pemerintah harus membangun jalan itu, direwangi harus sewa, bahkan sampai mengeluarkan banyak anggaran untuk membangun jalan tersebut itu yang diberi manfaat siapa? Ada tidak masyarakat yang banyak memanfaatkannya? Kalaupun ada caranya tidak seperti itu,” kritik Wisnu.
Ia menambahkan, ada solusi lain yang bisa ditempuh Pemkab Jepara, misalnya membuka akses jalan lain yang memang milik Pemkab Jepara atau jalan desa, atau ganti rugi si pemilik tanah dengan memperhitungkan penerima manfaatnya.
“Kalau ini saya melihatnya murni kepentingan PLTU agar ada jalan, terus lahan yang di pakai jalan itu milik orang, seakan-akan dijual pemilik, kemudian disewakan ke Pemda untuk dibangun jalan,” katanya.
Ia menilai, Pemkab Jepara telah menyewa lahan dan membangunnya, tapi yang memanfaatkan pihak tertentu saja.
“Itu perlu kita cermati dan waspadai. Sedangkan jika ada konflik Pemda yang dibenturkan dengan warga. Sedangkan hak pakai itu bukan kepemilikan yang jika waktunya sudah habis bisa diambil kembali,” tutupnya.
Tak tinggal diam, Sekda Jepara Edy Sujatmiko atas nama Pemkab Jepara, bergeming pada pendirian bahwa aset tersebut diperoleh Pemkab Jepara secara sah, baik secara prosedur dan dokumen. Kalaupun kemudian ada orang mengatakan dengan istilah diduplikasi dan sebagainya, pihaknya minta agar dibuktikan di Pengadilan.
“Secara fakta sudah kita (Pemkab) kuasai dan waktu itu juga sebelumnya sudah dikuasai oleh PLTU puluhan tahun sejak 2011. Sebelum dikuasai PLTU (lahan sengketa, Red.) juga sudah dikuasai oleh Pemilik C sebelumnya (perorangan) sejak tahun 1988,” jelas Edy Sujatmiko.
Ia pun mempersilakan jika ingin mengecek langsung di Kartu Inventaris Barang (KIB).
“Bisa dicek, Pemkab mendapatkan hibah dari PLTU yaitu Hak Pakai Nomor 14 sudah tercatat dalam KIB kita merupakan aset negara/daerah yang wajib kita pertahankan. Bisa dilihat di lapangan, faktanya sawah atau jalan atau sungai tadi ‘kan fasum (fasilitas umum, red), sesuai dengan undang-undang,” tambahnya.
Lebih lanjut, Edy mengatakan, jika pihak ketiga ketika sudah membangun fasilitas umum (fasum) harus diserahkan kepada pemerintah, baik perumahan atau fasum-fasum lainnya.
“Untuk fasum yang dimaksud sudah diserahkan tertanggal tahun 2015 dan sudah tercatat dan di situ, tidak ada sawah jadi mutlak milik Pemda secara sah,” kata Edy, baru-baru ini.
Sebelumnya Sekda Jepara memberikan surat teguran pertama kepada AHS yang isi surat tersebut memperingatkan agar AHS melakukan pembongkaran secara sukarela, paling lambat tanggal 8 September 2022, karena telah mendirikan bangunan permanen di atas tanah milik Pemkab Jepara yang terletak di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, tanpa seizin pemegang hak serta tanpa adanya Surat Ijin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dari Pemkab Jepara.
“Pemberian surat tersebut sesuai dengan UU dan PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang pengelolaan barang daerah. Oleh karena kita berkewajiban mengamankan aset daerah yaitu sudah tercatat sebagai aset daerah secara sah. Jadi bukan arogansi, tapi mengamankan aset Pemda,” tegas Edy Sujatmiko.
Setelah mengirimkan surat teguran pertama dan kedua kepada AHS, Pemkab kembali melayangkan surat teguran ketiga tanggal 22 September 2022. Alhasil dengan adanya surat teguran ketiga tersebut, AHS secara sukarela membongkar bangunan yang ia dirikan di lahan sengketa pada Kamis, 22 September 2022 malam.
Polemik sengketa lahan yang terjadi antara Pemkab Jepara dengan salah satu warga, AHS, masih belum menemui titik terang. Hingga berita ini diturunkan, kedua belah pihak saling klaim bukti kepemilikan yang sah.
Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jepara Junarso, penyelesaian masalah tersebut harus dapat diselesaikan dengan cara yang baik agar tidak berlarut-larut.
“Kalau ada sengketa warga dengan pemerintah, harus diselesaikan dengan cara yang lebih baik, kalau memang tidak ada titik temu di mana kita hidup di negara hukum ya kita selesaikan secara ketentuan hukum yang berlaku,” ujarnya.
Ia pun berharap masalah sengketa lahan tersebut dapat diselesaikan objektif dan bijaksana sebagaimana dengan aturan dan ketentuan hukum yang berlaku.
Sementara menurut Ketua LSM Kawali Jepara, Tri Hutomo, surat teguran Sekda Jepara Edy Sujatmiko yang ditujukan kepada AHS selaku pemilik lahan adalah hal yang kurang bijak dan terkesan ada arogansi, serta intimidasi dari Pemkab kepada warganya.
“Seharusnya Pemkab Jepara mengundang dulu pemilik lahan untuk klarifikasi keabsahan data masing-masing dalam sebuah forum, dengan mengundang pihak terkait seperti BPN, Pemerintah Desa, dan lainnya sebelum melakukan inspeksi lapangan,” sarannya.
Pasalnya, lanjut ia katakan, tidak mungkin warga biasa mempertahankan haknya tanpa dasar yang kuat.
“Apa pun itu pasti ada pembukuannya di desa, apalagi sampai hibah tanpa sepengetahuan desa. Padahal itu ada di Desa Tubanan, jadi pihak Pemdes Tubanan harus diundang jadi secara administrasi tidak amburadul,” tambahnya.
Tri Hutomo menambahkan, harus ada klarifikasi terlebih dahulu. Jika memang belum tuntas, maka harus diselesaikan terlebih dahulu. Sehingga tidak terkesan Pemkab arogansi dengan langsung memberikan teguran dan datang ke lokasi untuk memerintahkan pembongkaran.
“Kalau Pemkab berani mengeluarkan data pada saat itu, saya kira masalah tidak melebar ke mana-mana. Misal terkait anggaran proyeknya, dampak sosialnya, karena itu ‘kan merupakan area strategis,” urainya.
Kemudian terkait Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang disyaratkan Sekda Jepara dalam surat tegurannya, ia menilai secara umum Pemkab harus fair (adil) dalam penerapan PBG terhadap bangunan-bangunan di Jepara. Ia berpendapat, jangan karena ada kepentingan atau tendensi sehingga mempermasalahkan satu bangunan, sementara bangunan lain aman.
“Banyak gudang dan hotel di Jepara yang sampai saat ini juga belum mempunyai ijin PBG. Berapa persen yang sudah clear perijinannya? Itu kan tidak fair, walaupun sah-sah saja secara aturan, tapi jangan arogan seperti itu. Karena ada kepentingan, sehingga mencari celah,” tandasnya.
Ia minta Pemkab juga bersikap adil, membuka data dan informasi seperti yang diinstruksikan oleh Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta.
“Apa pun data dan informasi harus dibuka ke publik secara transparan agar permasalahan cepat selesai dan tidak ada ditutup-tutupi. Dengan begitu masalah dapat diurai. Pemkab harus berani gentle dan fair membuka data itu, kalau memang salah ya harus mengakui. Sebaliknya ke pemilik lahan pun juga harus sama. Dan itu tidak terjadi pada mediasi pertama, jadi itu (Pemkab, Red) tidak gentle. Harus ada alasan kenapa data tersebut tidak dibuka saat pertemuan pertama bersama Pj Bupati, BPN, KPK, BKAD, dan juga Sekda,” kata Ketua LSM Kawali.
Sebelumnya AHS mengatakan, pihaknya punya rekaman video Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta agar buka data, tapi hingga sekarang hal itu tak dilakukan. Sebaliknya, justru pihak Pemkab Jepara melalui Sekda Edy Sudjatmiko malah mengirimkan surat teguran kedua agar AHS membongkar bangunan permanen miliknya.
“Sesuai perintah dan instruksi Pj Bupati waktu itu agar dibuka datanya, tapi malah diabaikan. Saya punya rekaman video Pj Bupati memerintahkan untuk buka data saat itu, tapi sampai sekarang tidak dilaksanakan. Malah ini mengirimkan surat teguran kedua,” terang AHS.
Buntut kasus tersebut Sekretaris Daerah (Sekda) Jepara dilaporkan AHS ke Polda Jawa Tengah atas dugaan pemalsuan surat dan/atau membuat surat palsu, serta menempatkan keterangan palsu dan atau menggunakan keterangan palsu ke dalam sesuatu akta autentik.
Menurut Pimpinan Kantor Hukum Abdul Ghofur & Partners Law Firm, Abdul Ghofur, S.H., hal itu bisa diselesaikan secara musyawarah antar pihak pemilik lahan yakni AHS dengan Pemkab Jepara yang juga mengklaim sebagai pemilik lahan tersebut.
“Menurut hemat saya masing-masing pihak bisa duduk bermusyawarah untuk mediasi dengan menyertakan bukti keabsahan dokumen masing-masing, sehingga ada titik temu permasalahannya,” ujar Abdul Ghofur.
Dalam keterangannya, Pemkab Jepara mengklaim kepemilikan tanah tersebut berdasarkan sertifikat Hak Pakai (HP) Nomor 14/Tubanan seluas 41.430 meter persegi yang dihibahkan oleh PT. CJP pada tanggal 15/4/2015. Sedangkan AHS mengklaim lahan tersebut berdasarkan bukti Kepemilikan SHM nomor Sertifikat Hak Milik Nomor 454/Desa Tubanan atas nama Sri Wulan dengan luas 20.237 meter persegi.
“Jadi kalau kita bicara mengenai sengketa tanah ‘kan datanya harus valid, baik dari Pemkab ataupun warga. Baru jika musyawarah tidak ada titik temu, maka salah satu pihak bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan sehingga memperoleh kepastian hukum,” sarannya.
Ia berpendapat, tidak tepat jika sebelum ada mediasi atau klarifikasi antara kedua belah pihak, malah langsung memberikan teguran sebagai upaya menekan salah satu pihak.
“Kesannya ‘kan seperti main hakim sendiri dengan menunjukkan kekuatan yang dipandang sebagai sikap arogansi dan intimidasi kepada salah satu pihak,” katanya.
Menurutnya, seharusnya ada mediasi terlebih dahulu antara kedua belah pihak yang bisa diajukan oleh salah satu pihak kepada BPN sebagai mediator atau fasilitator untuk jadi penengah masalah sengketa tersebut.
“Jika dalam mediasi tidak menemui kata sepakat, maka bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk mendapat kepastian hukum terkait kepemilikan tanah tersebut,” terangnya.
Pemkab Jepara kembali melayangkan surat teguran ketiga kepada AHS selaku pemilik lahan dengan tuduhan pendirian bangunan ilegal yang berlokasi di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara pada Kamis, 22 September 2022. Usai menerima surat teguran ketiga ini, AHS akhirnya membongkar bangunan secara sukarela. Akan tetapi, persoalan tak serta merta selesai.
Permasalahan terjadi karena AHS merasa memiliki hak atas tanah berdasarkan kepemilikan akta jual beli dan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 454 tahun 1982 Gu tanggal 18/08/1982 nomor 2983/1982 seluas 20.237 meter persegi. Sementara itu Pemkab Jepara yang diwakili oleh Sekda Edy ngotot kalau tanah tersebut merupakan milik Pemkab Jepara berdasarkan Hak Pakai Nomor 14.
Oleh karena itu, Sekda Edy melayangkan surat teguran pertama tertanggal 31/08/2022 kepada AHS selaku pemilik lahan. Namun dikarenakan AHS tetap bersikukuh kepada pendiriannya untuk menolak melakukan pembongkaran, maka akhirnya Sekda Edy melayangkan Surat Teguran Kedua tertanggal 14/09/2022 kepada AHS selaku pemilik lahan.
Pemkab Jepara menilai pendirian bangunan tersebut menyalahi aturan yang berlaku karena dianggap mengganggu kondusivitas dan kelancaran pembangunan akses jalan menjadi terhambat.
“Saya hanya berpikir positif bahwa tanah tersebut telah bersertifikat Hak Pakai Pemkab. Peruntukannya fasilitas umum. Dan secara de facto telah tercatat dan digunakan untuk sungai dan jalan aset BPKAD. Dan mendadak ada orang yang membangun di jalan tersebut. Maka sikap Pemda harus kita tegakkan Perda, yaitu bongkar,” jawab Sekretaris Daerah (Sekda) Jepara, Edy Sujatmiko saat dikonfirmasi melalui pesan WA pada Kamis, 15 September 2022.
Karena tidak ada titik temu dalam penyelesaian permasalahan tersebut, akhirnya Sekda Edy (Edy Sujatmiko, red) dilaporkan AHS ke Polda Jawa Tengah sebagai tergugat dan telah masuk ke proses penyelidikan. Bahkan demi menuntut keadilan, AHS juga akan berencana membawa kasus ini ke Satgas Mafia Tanah.
Menanggapi hal tersebut Sekda Edy mengatakan tidak masalah.
“Dilaporkan tidak masalah, teguran saya karena demi mempertahankan aset terhadap mafia tanah, jadi yang mafia siapa? Apa nggak terbalik?” tegasnya.
Ia mengaku, hal itu ia lakukan atas nama Pemkab Jepara berdasarkan Hak Pakai (HP) Nomor 14 sebagaimana tercantum dalam surat teguran pertama bahwa Pemda menguasai fisik dan realita sebagai fasum sehingga siapa pun yang mendirikan bangunan di atas tanahnya sendiri harus memiliki surat ijin Pendirian Bangunan Gedung (PGB).
“Saya bertindak atas nama Pemkab Jepara, siapa pun yang mendirikan bangunan harus memiliki ijin. Ini sudah terbit teguran kedua dan proses tetap lanjut,” jelasnya.
Edy menyebutkan, pihaknya sudah mengadakan rapat dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) dan dalam rapat tersebut Pemprov Jateng sudah siap mendukung Pemkab Jepara untuk mengeluarkan peringatan ketiga yang nantinya berlanjut ke pembongkaran.
“Jadi kita pertahankan, bukan arogan ya, karena kita punya hak dan sudah kita kuasai. Jadi bukan semena-mena menguasai. Jadi secara fakta sudah kita kuasai dan secara hukum itu sudah ada Hak Pakai Nomor 14. Kalau mau buka data, silakan di Pengadilan dan kalau tidak terima silakan mengajukan gugatan. Jadi harus objektif,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sekda Edy menambahkan, sama halnya Alun-Alun atau stadion yang harus dikuasai Pemkab, sesulit apa pun Pemkab kuasai dulu sebelum ada eksekusi pengadilan.
“Jadi tidak ada eksekusi perorangan. Kan gak boleh karena melanggar hukum. Namanya dan juga bangunan di sana tidak ada IMB-nya. Jadi saya mengajak semua pihak untuk berpikir objektif. Kalau arogan dasarnya apa? Kan berdiri di atas tanah milik Pemkab sendiri. Dan kenapa saya mengusirnya, karena dia (AHS) membangun di atas tanah milik Pemkab. Kalau dia (AHS) ingin menunjukkan sertifikat, silakan gugat dulu. Jadi tidak bisa langsung membangun harus ada proses eksekusi ‘kan ada aturannya,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa dirinya bertindak masih normatif, kecuali AHS memiliki bukti sah dikuasai olehnya dan ditempati AHS, kemudian tanpa eksekusi pengadilan pihaknya langsung membongkarnya dengan alat berat, baru itu bisa dikatakan Sekda arogan.
“Saya pun juga nanti sampai ke peringatan ketiga sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan mekanisme buka data itu di Pengadilan dan yang mengeksekusi adalah pemerintah (Pengadilan),” tutupnya. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)