GROBOGAN, Lingkarjateng.id – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng) terus mendorong peningkatan produksi kedelai lokal, termasuk varietas kedelai Grobogan. Apalagi, dibanding kedelai impor, kedelai lokal memiliki kandungan protein lebih tinggi dan lebih sehat karena fresh.
Seiring dengan harga jual yang membaik, para petani kini bersemangat menanam komoditas kedelai lokal. Seperti yang diungkapkan oleh petani asal Desa Pojok, Kecamatan Pulokulon-Grobogan, Bisri Mustofa.
Ia mengatakan, kebiasaan menanam kedelai di lahan sudah mendarah daging di wilayah tersebut. Akan tetapi, minat petani bertanam kedelai naik turun, seiring dengan fluktuasi harga kedelai.
Menurutnya, harga kedelai sempat anjlok di bawah Rp6.000 per kilogram pada 2017-2019 lalu.
“Tahun itu sempat kendho (berkurang) untuk menanam kedelai, karena musim dan harganya tidak mendukung. Namun kini, harga per kilogram sampai Rp10 ribu,” ujar Bisri pada Jumat, 7 Oktober 2022.
Dikatakan, tanaman kedelai cukup gampang ditanam. Selain itu, perawatannya mudah dan tidak memerlukan pupuk ekstra. Oleh karena itu, ratusan petani di Desa Pojok memilih kedelai sebagai tanaman pangan selain jagung dan padi.
“Kalau di Grobogan rerata petani menanam varietas Grobogan. Dulu ‘kan awalnya tanam varietas Malabar, tapi kalau jenis itu petani bilang (sifat tanaman) berubah. Nah, jadi sekarang ya pakai varietas Grobogan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Grobogan, Sunanto menambahkan, varietas lokal memiliki kualitas baik, tak kalah dari kedelai impor.
Bahkan, varietas Grobogan dinilai lebih unggul karena belum direkayasa secara genetis. Keunggulan varietas lokal di antaranya, umur tanaman yang pendek sekitar 76-85 hari siap panen, produktivitas tinggi dan protein yang lebih tinggi.
“Kita pernah menanam itu produktivitasnya 3,6 ton per hektare untuk varietas Grobogan. Selain itu, proteinnya lebih tinggi lokal yang mencapai 43-44 persen, dibanding impor yang hanya 38 persen. Selain itu, kedelai lokal lebih fresh, sementara kedelai impor adalah transgenik atau Genetically Modified Organism (GMO). Kalau kedelai kita non-GMO lebih sehat,” paparnya.
Secara data, Sunanto memaparkan produksi kedelai Grobogan mengalami fluktuasi. Pada 2018 panen petani kedelai mengalami kejayaan. Pada tahun tersebut luasan produksi kedelai mencapai 60 ribu hektare.
Setelahnya, pada 2019 lahan kedelai turun menjadi 15 ribu hektare, lalu 2020 menyusut kembali menjadi hanya 6.000 hektare. Pemulihan mulai terasa pada 2021 luas produksi tanaman kedelai meningkat menjadi 15 ribu hektare dan 2022 ditargetkan 30 ribu hektare.
“Kelemahannya, masyarakat belum percaya benih lokal bisa untuk tahu atau tempe. Maka dari itu, kita dirikan Rumah Kedelai Grobogan yang di sana tahu dan tempe dihasilkan dari benih-benih lokal. Benih kedelai Grobogan itu menyuplai sekitar 75 persen kebutuhan benih nasional,” sebut Sunanto.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng, Supriyanto mengatakan, produksi kedelai lokal belum bisa memenuhi kebutuhan kedelai di Jawa Tengah. Namun demikian, pemerintah daerah dan pusat terus menggenjot produksi serta memberikan bantuan bagi para petani.
Ia mengatakan, produksi kedelai di Jateng mencapai puncaknya pada 2018 yang mencapai 166 ribu ton. Namun seiring fluktuasi harga, produksi kedelai di bawah 100 ribu ton. Sementara, kebutuhan kedelai di Jateng defisit 555 ribu ton per tahun.
Supriyanto menyebut, tidak mempermasalahkan masuknya kedelai impor. Hanya, ia mendorong agar petani mulai menggalakkan penanaman kedelai lokal, seiring harga jual yang dinilai membaik.
Pada 2023, ia berharap harga kedelai lokal semakin membaik, agar menggairahkan para petani. Untuk menggenjot produksi, APBD Jawa Tengah dikerahkan untuk penanaman kedelai di lahan 300 hektare. Selain itu, APBN juga memberi alokasi 12.500 hektare lahan kedelai ditambah 50 ribu hektare dari Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
“Untuk petani, mari kita berproduksi yang bagus, sembari menanti pemerintah (pusat) memberi patokan harga yang berpihak ke petani. Setelah punya produksi yang banyak dan bagus, ayo pengusaha tahu tempe kembali ke kedelai lokal,” pungkas Supriyanto. (Lingkar Network | Lingkarjateng.id)