SEMARANG, Lingkarjateng.id – Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) mencatat sedikitnya 117 kasus kekerasan seksual di Jawa Tengah, baik verbal maupun nonverbal, sepanjang tahun 2025. Angka tersebut meningkat dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 104 kasus.
Kepala Operasional LRC-KJHAM, Nihayatul Mukarom, mengungkapkan bahwa mayoritas korban merupakan perempuan dewasa. Hal itu disampaikannya dalam diskusi bersama PW Fatayat NU Jawa Tengah bertema “Mendorong Negara Memastikan Layanan yang Berkeadilan: Implementasikan UU TPKS di Setiap Layanan” di Gedung PWNU Jateng, Rabu, 10 Desember 2025.
“Kalau dibandingkan tahun lalu, ada kenaikan jumlah kasus di tahun 2025 ini. Tahun lalu ada 104 kasus dan tahun ini menjadi 117,” ujar Nihayatul.
Menurutnya, kasus kekerasan seksual pada 2025 didominasi oleh kejadian di lingkungan privat atau yang melibatkan kerabat dekat sebagai pelaku. Selain itu, lingkungan pendidikan agama juga tidak luput dari catatan kasus.
“Di pendidikan agama ada satu kasus yang terjadi di pondok pesantren. Prosesnya cukup panjang, apalagi sempat ada ancaman dan intimidasi dari pelaku,” jelasnya.
LRC-KJHAM terus melakukan pendampingan kepada para korban, mulai dari konseling, proses hukum, pelaporan kepada pihak berwajib, hingga pendampingan selama persidangan.
“Kalau korban datang melakukan pengaduan, dari hasil konseling kami melihat apa yang mereka butuhkan, mulai dari proses hukum hingga pemulihan. Jika masih membutuhkan pendampingan, kami tetap akan menyertainya,” tambah Nihayatul.
Saat disinggung mengenai kasus kekerasan seksual yang melibatkan penyalahgunaan teknologi Artificial Intelligence (AI), ia menyebut belum ada laporan yang masuk.
“Belum ada laporan terkait kekerasan seksual lewat AI. Walaupun kami mencoba mencari korban, kami cukup kesulitan dalam menjangkau mereka,” ungkapnya.
Meski UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan sejak 2022, LRC-KJHAM mengaku masih menemui kendala saat membuat laporan kepada kepolisian. Salah satu tantangan terbesar adalah pembuktian kasus ketika tidak ada saksi langsung.
“Padahal dalam UU TPKS, satu saksi korban ditambah bukti lainnya sudah cukup membuktikan kasus kekerasan seksual. Namun kami masih mengalami kesulitan ketika tidak ada saksi, dan dari penyidik disebutkan kasus belum bisa terbukti. Hal ini menghambat proses hukum,” tegas Nihayatul.
Jurnalis: Rizky Syahrul
Editor: Sekar S
































