REMBANG, Lingkarjateng.id – Dua hari belakangan, baliho penolakan mutasi pejabat atau pelantikan pejabat baru tengah menjamur di sejumlah ruas jalan Kabupaten Rembang.
Aksi pemasangan baliho tersebut dilakukan oleh warga Rembang menanggapi isu rencana mutasi pejabat atau pelantikan pejabat baru oleh Bupati Rembang, Abdul Hafidz.
Merujuk pada pasal 71 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon (paslon) sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Penggantian jabatan yang dimaksud terbatas pada mutasi jabatan. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan, kepala daerah dapat menunjuk pejabat pelaksana tugas.
Pelaksanaan pasal tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatangani Persetujuan Tertulis untuk Melakukan Penggantian Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah.
Sesuai pasal 71 ayat 2 atau pasal 162 ayat 3, kepala daerah yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara paling sedikit 1 bulan atau paling lama 6 bulan, serta denda paling sedikit Rp 600.000 hingga paling banyak Rp 6.000.000.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Rembang, Gunasih, menilai rencana mutasi pejabat atau pelantikan pejabat baru oleh Bupati Hafidz tersebut terlalu memaksakan kehendak.
Pasalnya, dalam UU sudah jelas tidak diperbolehkan melakukan mutasi jabatan atau melantik pejabat baru. Menurutnya, jika hal itu dipaksakan, dalam etika tentunya akan menjadi sejarah buruk di Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Rembang.
“Ya saya dengar kabar hari ini, seolah-olah ini Bupati terlalu memaksakan. Tinggal berapa hari lagi menjabat, malah ada kabar seperti ini,” ucap Gunasih pada Selasa, 3 Desember 2024.
Sebagai Wakil Ketua DPRD Rembang, ia mengimbau kepada Bupati Hafidz untuk tidak membuat kebijakan seenaknya sendiri dan tetap menaati peraturan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Ia menilai Bupati Hafidz seharusnya sudah tidak membahas mutasi jabatan atau pelantikan pejabat, tapi berkoordinasi dengan kepala daerah selanjutnya agar program yang sudah berjalan baik selama ini tak putus di tengah jalan.
Hal itu juga demi menjaga stabilitas birokrasi dan memastikan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), sehingga penyelenggaraan Pilkada 2024 dapat berjalan dengan baik dan sesuai prinsip demokrasi.
“Ya harusnya di akhir masa jabatan ini ya harus bersinergi saja, gak usah ngurusi jabatan lagi. Apalagi tidak mengindahkan peraturan Kemendagri,” ungkapnya. (Lingkar Network | Vicky Rio – Lingkarjateng.id)