Keluhkan Kebijakan ODOL, Aliansi Pengemudi Desak Dishub Jateng Tetapkan Tarif Angkutan Barang

Ketua Umum Aliansi Pengemudi Independen (API) Nasional, Suroso. (Rizky Syahrul Al-Fath/Lingkarjateng.id)

SEMARANG, Lingkarjateng.id – Kumpulan pengemudi yang tergabung dalam Aliansi Pengemudi Independen (API) Nasional mengeluhkan adanya kebijakan Over Dimension Overloading (ODOL).

Ketua API Nasional Suroso menyatakan bahwa kebijakan ODOL sangat memberatkan para sopir dan pengusaha jasa angkutan transportasi darat.

“Yang dikeluhkan selama ini kebijakan overload. Nah adanya melanggar itu karena untuk menutup biaya operasional. Kalau tidak melanggar seperti ini, pasti tidak akan mencukupi biaya operasional temen-temen semua,” ucap Suroso usai audiensi bersama Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Jawa Tengah di Semarang, Jawa Tengah, baru-baru ini.

Maka dari itu, ia meminta pemerintah untuk menetapkan tarif angkutan barang sebagai solusi dan kebaikan bersama. Mengingat, permasalahan ini telah terjadi bertahun-tahun tanpa adanya solusi yang konkret.

“Kita meminta pemerintah untuk memikirkan para pengemudi, bisa menetapkan tarif batas atas dan batas bawah. Kita juga, kan, membantu pemerintah untuk memutar roda ekonomi bangsa, supaya mau memperhatikan nasib teman-teman pengemudi. Ini mohon maaf, gaji sopir dengan buruh pabrik aja masih tinggi mereka. Padahal risiko kita sangat tinggi. Sampai saat ini bagaimana kesejahteraan pengemudi. Padahal kita juga buruh profesi, tidak semua orang bisa mengemudi angkutan berat,” jelasnya.

Ia menceritakan, saat ini sopir angkutan barang tidak lagi didampingi kernet karena tidak adanya biaya.

“Sopir saat ini tidak pada bawa kernet. Kalau di era saya tahun 90-an sampai 2001 itu masih pakai, ya karena tidak ada biaya untuk membayar kernet,” keluhnya.

Menanggapi keluhan tersebut, Kepala BPTD Kelas II Jawa Tengah Ardono menyatakan bahwa standarisasi tarif yang diusulkan oleh API Nasional sulit ditetapkan.

Pasalnya, kata dia, terdapat barang atau komoditas yang memang tidak bisa terapkan tarif lantaran tempat asal dari barang tersebut berbeda-beda.

“Lha kalau dari jenis yang perkebunan, buah-buahan, itu sangat sulit sehingga akhirnya dipahami bahwa tidak semudah itu untuk menetapkan tarif. Contoh saja seperti di satu kota yang menghasilkan sayur, yang dari gunung dan di dataran rendah saja beda. Jadi timbul persaingan tidak sehat kalau diterapkan kaku. Jadi ya kami serahkan ke pasar, yang penting biaya operasional tertutup dan ada keuntungan,” jelasnya.

Meskipun demikian, pihaknya mengatakan bahwa hasil audiensi dari API Nasional akan dilaporkan ke pimpinan sehingga nantinya dapat menjadi pertimbangan dan akan dilakukan kesepakatan. (Lingkar Network | Rizky Syahrul Al-Fath – Lingkarjateng.id)

Exit mobile version