Demo! Aliansi Buruh Jateng Tuntut Kenaikan UMP 2025 dan Pencabutan UU Cipta Kerja

Ratusan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah saat menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Jateng pada Kamis, 31 Oktober 2024. (Rizky Syahrul Al-Fath/Lingkarjateng.id)

SEMARANG, Lingkarjateng.id – Ratusan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJaT) melakukan aksi unjuk rasa secara marathon di tiga titik pusat pemerintahan yaitu di depan Balai Kota Semarang, depan Kantor Gubernur Jawa Tengah (Jateng), dan di depan Kantor DPRD Provinsi Jawa Tengah pada Kamis, 31 Oktober 2024.

Unjuk rasa kali ini merupakan bagian aksi serentak yang dilakukan oleh sejumlah serikat pekerja yang ada di seluruh Indonesia. Aksi tersebut dilakukan bertepatan dengan pembacaan putusan sidang uji materiil Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Partai Buruh untuk menuntut pencabutan pasal-pasal yang menyalahi hak buruh.

Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Tengah, Aulia Hakim, mengatakan aksi kali ini selain pengawalan terhadap sidang di Mahkamah Konstitusi juga sebagai pembuktian bahwa buruh yang ada di Jawa Tengah, khususnya Kota Semarang, masih komitmen dalam perjuangan menolak UU Cipta Kerja yang isinya mendegradasi hak buruh.

“Undang-undang yang digadang-gadang oleh pemerintah untuk menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia ini bukannya untuk menciptakan lapangan kerja, namun malah sebaliknya,” ujar Aulia Hakim.

“Dengan kemunculan undang-undang bak siluman ini, jumlah pekerja yang mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja) semakin meningkat. Bahkan disinyalir bahwa Jawa Tengah sebagai penyumbang PHK terbesar sepanjang tahun 2024. Yang artinya UU Cipta Kerja gagal dalam menciptakan lapangan kerja,” lanjutnya.

Ia mengatakan bahwa dalam kenyataannya perusahaan atau pengusaha sering kali mengeluh kenaikan upah yang tinggi akan memicu PHK. Namun, kata Aulia, Jawa Tengah yang memiliki upah minimum provinsi (UMP) terendah di Indonesia, justru menjadi penyumbang PHK massal yang jumlahnya tidak sedikit.

Oleh karena itu, Aulia menila tidak ada korelasinya antara upah tinggi dengan PHK.

“Yang terjadi ketika upah buruh ditekan serendah-rendahnya maka secara otomatis daya beli buruh atau masyarakat pada umumnya menjadi rendah, dan akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Oleh karena itu, dalam aksi kali ini pihaknya membawa dua tuntutan yang akan disampaikan baik kepada Wali Kota Semarang, Pj. Gubernur Jawa Tengah, maupun kepada DPRD Provinsi Jawa Tengah.

Para buruh menuntut kenaikan upah minimum tahun 2025 minimal sebesar 10% dan pencabutan omnibus law Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. (Lingkar Network | Rizky Syahrul Al-Fath – Lingkarjateng.id)

Exit mobile version