PATI, Lingkarjateng.id – Kasus dugaan investasi saham kapal bodong yang menyeret Haji Tomo Juwana, Kabupaten Pati, kini memasuki babak baru. Hal itu seiring dengan akan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) nasional per 2 Januari 2026 mendatang.
Penegasan tersebut disampaikan oleh tim penasihat hukum terdakwa Haji Tomo, Izzudin Arsalan, S.H., M.H., dari Kantor Hukum Fatkhur Rahman & Rekan, usai persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Pati pada Rabu, 24 Desember 2025.
“Dalam sidang kemarin kami menemukan sejumlah fakta yang diduga tertutup, serta implikasi pemberlakuan KUHP dan KUHAP baru yang akan mulai berlaku 2 Januari 2026,” ujar Arsalan pada Kamis, 25 Desember 2025.
Arsalan menyampaikan dalam persidangan tersebut terungkap adanya sejumlah saksi yang mengundurkan diri. Dari 10 saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), beberapa di antaranya memilih mundur sebelum diambil sumpah.
“Sidang dilanjutkan dengan memeriksa saksi tersisa, termasuk saksi pelapor Siti Fatimah Al Zana Nurfatimah (Zana),” katanya.
Ia mengungkapkan pihak kuasa hukum mengaku menemukan berbagai kejanggalan dalam perkara ini, termasuk adanya fakta yang diduga sengaja ditutupi selama proses pemeriksaan.
Salah satunya adalah kehadiran saksi fakta bernama Suwarti yang mengaku menyaksikan penyerahan uang pada 26 November 2016, namun namanya tidak tercantum dalam keterangan awal di kepolisian.
“Kami tim hukum menduga adanya kesengajaan untuk menutupi fakta dan kemungkinan adanya keterangan palsu. Di mana hal itu diatur dalam Pasal 242 KUHP lama dan Pasal 291 KUHP baru,” urai Arsalan.
Kejanggalan lain yang disoroti adalah “saksi yang kerap muncul” dalam perkara dengan pelapor yang sama. Arsalan menyebut saksi bernama Budi Widyaningrum, serta anak dan menantu pelapor, sebelumnya juga pernah menjadi saksi dalam perkara pidana lain dengan pelapor yang sama.
“Yang tertuang dalam Putusan MA Nomor 939/K/Pid/2023, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang peran mereka,” jelasnya.
Selain itu, tim hukum mempersoalkan barang bukti berupa laptop yang tidak disita penyidik. Padahal, tangkapan layar (screenshot) percakapan WhatsApp diambil dari laptop milik menantu pelapor tersebut, sehingga keaslian bukti diragukan.
“Handphone pelapor yang dinyatakan error juga belum diperiksa lebih lanjut,” sebutnya.
Arsalan juga menilai proposal yang diajukan pelapor diduga hasil rekayasa, sehingga kliennya menolak tegas bukti tersebut.
“Karena stampel cap berada di bagian cover depan yang tidak lazim. Tim hukum menduga bukti tersebut direkayasa,” ucap Arsalan.
Terakhir, ia mengkritisi diksi “perusahaan” yang digunakan JPU dalam pertanyaan.
Menurutnya, hal itu seolah-olah menyimpulkan keterlibatan korporasi, padahal belum dipastikan apakah terdakwa bertindak atas nama pribadi atau Direktur CV.
Implikasi KUHP dan KUHAP Baru dalam Sidang Haji Tomo Juwana
Lantaran sidang berikutnya dijadwalkan pada 6 Januari 2026, Arsalan menyatakan bahwa pemeriksaan perkara otomatis akan tunduk pada aturan KUHP dan KUHAP yang baru.
“Menurut pendapat hukum, KUHAP baru menguntungkan kliennya karena mengatur prinsip autentikasi bukti (Pasal 235 Ayat 3-5). Di mana bukti yang tidak asli atau diperoleh secara ilegal tidak memiliki kekuatan pembuktian,” tegasnya.
Tim hukum menduga kliennya menjadi korban permainan mafia hukum yang sistematis. Arsalan berpendapat bahwa jika peristiwa tersebut memang benar terjadi, seharusnya masuk dalam ranah perdata, bukan pidana.
“Lebih tepatnya, seperti ungkapan ‘ada udang dibalik batu’ untuk menggambarkan perkara ini,” ungkapnya.
Menutup keterangannya, tim penasihat hukum berkomitmen untuk terus membongkar kebenaran dan meminta publik serta media untuk mengawal kasus ini hingga tuntas.
“Kami tidak bertanggungjawab terhadap keterangan dan informasi di luar keterangan ini. Harapannya, semua pihak bisa turut mengawal perkara ini termasuk dari rekan-rekan media,” tutup Arsalan.
Sumber: Lingkarnews Network
Editor: Rosyid
































