SEMARANG, Lingkarjateng.id – Sengketa kepemilikan lahan di kawasan Kota Lama Semarang memanas. Pemilik Hotel Dafam Semarang, F. Soleh Dahlan (FSD), melaporkan balik SDK selaku pemilik Resto Spiegel ke Polda Jawa Tengah atas dugaan pemalsuan dokumen.
Langkah ini merupakan respons atas laporan SDK ke Polrestabes Semarang, yang menuduh FSD melakukan pemalsuan surat atas bangunan bersejarah di Jalan Jalak No. 5–7 yakni eks bangunan kantor Lloyd yang berada tepat di depan Rumah Akar. Atas permohonan tersebut akhirnya diterbitkan Sertifikat HGB Nomor 01173 pada April 2021.
Kuasa hukum FSD, Adi Nurrohman, mengatakan bahwa SDK dilaporkan atas dugaan pemalsuan surat dalam akta autentik sertifikat HGB 01173 tersebut.
Adapun laporan balik ini mencakup dugaan pemalsuan surat keterangan tidak dalam sengketa ditandatangani lurah serta pernyataan penguasaan fisik bangunan
“Secara administratif kami sudah laporkan di Polda, dan saat ini laporan sudah masuk dalam tahap penyidikan,” ujarnya, Kamis, 12 Juni 2025 sore.
Laporan tersebut tidak hanya ditujukan kepada SDK sebagai pemilik Gedung Spiegel yang berstatus cagar budaya, tetapi juga menyasar beberapa pihak lain yang diduga terlibat dalam transaksi jual beli lahan tersebut.
Nama-nama seperti likuidator NV Thio Tjoe Pian, Kusuma Tjitra, dan Ir Mustika turut dilaporkan atas dugaan keterlibatan mereka dalam pemalsuan dokumen.
“Jadi kami laporkan tiga orang, termasuk pihak penjual dan pembeli. Karena kami menemukan dua bentuk pemalsuan: surat pernyataan tidak sengketa dan surat penguasaan fisik yang kemudian dijadikan dasar jual beli,” tambah Adi.
Ia menuturkan pelaporan tersebut didasarkan atas putusan PTUN yang membatalkan Sertifikat HGB 01173 atas permohonan kliennya.
Adapun Gugatan ke PTUN tersebut, lanjut dia, dilakukan FSD karena tidak bisa mengajukan permohonan hak atas bangunan yang dulunya merupakan aset milik NV. Thio Tjoe Pian itu.
“FSD merupakan penyewa bangunan tersebut yang selama lebih dari 30 tahun menguasai dan merawat,” katanya.
FSD juga membantah tuduhan memiliki lahan tersebut secara ilegal. Ia mengklaim hanya menyewa dan merawat bangunan itu selama lebih dari 40 tahun.
Menurutnya, Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah itu telah kedaluwarsa sejak 24 September 1980 dan tidak pernah diperpanjang oleh NV Thio Tjoe Pian, sehingga secara hukum, tanah tersebut kembali menjadi milik negara.
“Sejak awal kami tidak pernah mengklaim sebagai pemilik. Tapi memang benar kami menguasai fisik bangunan di Jalan Jalak itu, dan kami rawat selama puluhan tahun. Kami merasa memiliki legal standing karena memenuhi syarat sebagai pihak yang secara terus-menerus menguasai dan merawat tanah selama lebih dari 20 tahun,” ujar FSD.
Ia juga menekankan bahwa sesuai ketentuan hukum agraria, pihak yang diberikan prioritas untuk menempati tanah negara adalah mereka yang telah menguasai dan merawat lahan tersebut secara terus-menerus. Dalam hal ini, FSD meyakini bahwa dirinya memenuhi kriteria tersebut.
Sengketa ini diperkirakan akan terus bergulir mengingat status lahan yang terletak di kawasan strategis dan bersejarah Kota Lama Semarang. Polda Jateng tengah mendalami laporan yang telah masuk tahap penyidikan.
Jurnalis: Rizky Syahrul/Antara
Editor: Ulfa P