SALATIGA, Lingkarjateng.id – Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) yang menempati shelter Alun-alun Pancasila, Kota Salatiga, mengeluhkan besaran tarif retribusi yang mencapai Rp 35.000 per shift. Mereka menilai nilai retribusi tersebut sangat tinggi.
Perwakilan Paguyuban PKL Pancasila, Yuana Emi Rhomadhiyah, menuturkan bahwa besaran retribusi tersebut memang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Salatiga Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Namun, pihaknya berharap ada kebijakan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga yang bisa meringankan tarif retribusi PKL. Pasalnya, jika PKL berjualan dari pagi hingga malam, maka mereka harus membayar retribusi sebesar Rp 105.000 per hari.
“Kami sudah sudah beraudiensi dengan Dinas Perdagangan Kota Salatiga dan difasilitasi oleh Komisi B DPRD Kota Salatiga beberapa waktu lalu. Sebenarnya sangat berat, tapi sudah dituangkan dalam Perda,” katanya pada Jumat, 31 Januari 2025.
Ia mengungkapkan bahwa dalam audiensi sudah disepakati tarif retribusi sementara yang dikenakan kepada PKL sebesar Rp 12.000 per shift.
Pihaknya pun ingin agar perubahan besaran nominal retribusi di selter Alun-alun Pancasila ditetapkan dengan peraturan baru agar memiliki payung hukum yang kuat.
Yuana juga berharap pada kepemimpinan wali kota terpilih nantinya dapat mengevaluasi peraturan daerah yang dirasa memberatkan para pedagang. Ia juga menyampaikan apresiasi atas ketegasan Pj. Wali Kota Yasip Khasani dalam menertibkan pedagang liar di Alun-alun Pancasila.
“Harapan kami, nantinya wali kota yang baru bisa mengevaluasi perda tersebut. Kami juga mengapresiasi langkah tegas P.j Wali Kota yang menertibkan keberadaan pedagang liar di sekitar alun-alun. Sebelumnya, alun-alun terlihat penuh sesak dengan pedagang dan mengganggu pemandangan,” ucapnya.
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kota Salatiga, Ahmad Musadad, membenarkan bahwa pihaknya telah mempertemukan PKL di Shelter Alun-alun Pancasila dengan Dinas Perdagangan.
Menurutnya, saat ini sudah ada solusi yang tidak memberatkan PKL dan juga tidak membebani Dinas Perdagangan sebagai pemangku kebijakan.
“Betul, dulu memang pernah ada audiensi dengan PKL dan Pak Aji (Kepala Dinas Perdagangan) dan sudah ada kesepakatan terkait PKL di Pancasila. Tentu saja sebagai kekuatan hukumnya PKL harus punya SIP ( surat izin penempatan) yang diterbitkan dinas perdagangan,” kata politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu. (Lingkar Network | Angga Rosa – Lingkarjateng.id)