DEMAK, Lingkarjateng.id – Peresmian Flyover Ganefo Mranggen diwarnai aksi unjuk rasa dari warga. Massa menuntut akses jalan utama yang dulu dipakai agar dibuka kembali. Pasalnya sejak dibangunnya jembatan ini warga Desa Kambangarum dan Desa Jetak Sendangsari Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak mengalami kelumpuhan di bidang ekonomi.
Salah satu warga Desa Kembangarum, Sutri Handayani, mengatakan sejak ada flyover Ganefo itu akses jalan utama yang biasanya dilewati ditutup sehingga dirasa menyulitkan aktifitas warga.
“Yang tua-tua seperti saya gak berani naik ke atas, jadi lewatnya muter. Sebelum ada jembatan ini warga sana kalau jualan ramai, sekarang sepi karena enggak ada akses jalan. Mau ke sekolah juga susah harus muter jembatan dulu, lewat rel kereta pun relnya tinggi dan jalannya rusak, takut jatuh. Jalan utama ‘kan ditutup jadi lewatnya ke timur di rel kereta apinya juga enggak ada penghalang dan penjaganya, itu kan rawan,” beber Sutri pada Kamis, 13 Oktober 2022.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang hadir meresmikan jembatan flyover Ganefo itu mengatakan kepada warga agar jika ada yang dikeluhkan bisa disampaikan dengan baik, tidak perlu demo.
“Ketika itu butuh dialog sampaikan saja, kalau tidak dikomunikasikan kemudian momennya ‘kan diambil, pas peresmian seperti ini demo. Ternyata korlapnya dari DPR fraksi PDI Perjuangan, bisa bicara sama saya ‘kan sama-sama PDI Perjuangan karena prosesnya mesti sampai menteri. Karena nihil-nihil hanya surat-suratan ya enggak bisa, mesti ada kajiannya,” ungkap Ganjar.
Selanjutnya, menanggapi tuntutan warga itu Ganjar mengaku akan menindaklanjutinya baik yang sifatnya administratif atau teknis nanti akan diajak komunikasi. Dengan demikian, semuanya berjalan dengan baik.
Menurut Ganjar, dalam pembangunan itu selalu ada dampaknya oleh sebab itu akan terus dilakukan mitigasi agar semuanya bisa berjalan.
“Tadi permintaannya ‘kan tetap bisa dipakai nanti kita lihat, yang penting nanti jangan sampai mengganggu transportasinya. Simpel saja sebenarnya. Karena ini kan juga permintaan warga, kalau dulu gak dibangun luweh rekoso meneh to kiro-kiro (akan lebih susah lagi nantinya). Jadi begitu,” terangnya.
Sementara itu, Kordinator Lapangan aksi unjuk rasa Busro menyampaikan bahwa dirinya belum puas dengan jawaban Gubernur.
“Belum puas lah, Pak Ganjar menyarankan komunikasi dengan pihak Bina Marga, Bina Marga itu tidak punya kebijakan karena kebijakannya ada dipusat. Dan itu semua sudah kita tempuh, ya nanti kita upayakan kita minta Pak Ganjar, ‘kan orang birokrat bisa berdekatan dengan Dinas Perhubungan. Ini pun sudah kita tempuh sudah sampai menteri perhubungan, tapi sampai hari ini belum ada respon,” bebernya.
Menurut Busro, ada sekitar 3.000 rumah yang terkena dampak pembangunan flyover Ganefo sedangkan begitu jalan utama ditutup maka akses ekonominya juga terganggu.
“Katanya dari pihak Bina Marga akan ada jalan alternatif tapi sampai sekarang belum ada jalan. Saya mengajukan tanggal 16 Februari 2022 yang lalu ke Menteri Perhubungan, wajar warga-warga saya demo,” tuturnya.
Tuntutan agar akses jalan utama dibuka itu, lanjut Busro, itu menurutnya mutlak karena merupakan akses ekonomi warga setempat.
“Kalau warga lewat atas jembatan enggak mungkin sekali, maka lewat bawah. Di bawah akan tersekat antara timur ke barat warga yang mau ke pasar. Dan yang lebih parahnya lagi, warga keluar dari desanya tidak bisa karena tertutup, harus muter lewat desa lain. Yang ditutup itu jalan di Desa Krajan RW 2, Desa Jawong RW 3, Desa Dolop RW 4 sampai Kalitengah, bayangkan saja. Ada sekian ribu rumah yang aksesnya lewat jalan satu-satunya sudah ditutup. Kami sudah mengupayakan step by step tetapi belum ada solusi. Demo ini ‘kan alternatif terakhir, kalau tidak dibuka ya sekalian aja tutup semuanya. Kasihan warga, total ada 4 RW yang terdampak,” tandasnya. (Lingkar Network | Tomi Budianto – Koran Lingkar)