SEMARANG, Lingkarjateng.id – Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) menanggapi tren peningkatan cuci darah pada anak-anak yang baru-baru ini ramai dibicarakan di media sosial.
Cuci darah atau hemodialisis sendiri merupakan prosedur untuk membuang racun dari dalam tubuh akibat ginjal yang telah rusak. Prosedur yang menggunakan mesin khusus ini dilakukan pada pasien yang mengalami gagal ginjal.
Kabid Pelayanan Kesehatan Dinkes Jateng, Elhamangto Zuhdan, mengatakan bahwa istilah tren cuci darah pada anak-anak sebenarnya kurang tepat.
“Sebetulnya bukan marak, tapi memang ada peningkatan pelayanan hemodialisis atau cuci darah pada anak. Sarana untuk cuci darah anak-anak terbatas, tidak semuanya ada. Jadi istilah ‘tren peningkatan cuci darah pada anak’, sebagaimana yang ramai media beritakan tersebut, kurang tepat,” ujarnya baru-baru ini.
Menurut Elham, panggilan akrabnya, layanan hemodialisis khusus anak-anak hanya tersedia di rumah sakit (RS) kelas A yang berada di kota besar, tak terkecuali RSCM Jakarta. Pasien anak-anak yang melakukan cuci darah di RSCM, kata Elham, merupakan pasien rujukan dari RS yang tak memiliki layanan hemodialisis khusus anak di daerahnya.
“Di beberapa daerah belum ada layanan cuci darah untuk anak, sehingga mereka ke RSCM. Bukan berarti ada peningkatan (kasus gagal ginjal pada anak), tetapi peningkatan kunjungan, karena sudah diketahui ada layanan cuci darah anak di RSCM,” jelasnya.
Ia menyebut di Jawa Tengah sendiri sama dengan apa yang terjadi di RSCM. RS yang memberikan layanan hemodialisis khusus anak-anak masih terbatas, hanya tersedia di beberapa RS besar.
“Ada empat RS tipe A di Jawa Tengah. Di antaranya RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo (Banyumas), RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro (Klaten), RSUP dr. Kariadi (Kota Semarang), dan RSUD dr. Moewardi (Kota Surakarta),” ungkapnya.
Adapun jumlah kumulatif pasien anak-anak yang melakukan cuci darah di Jateng berkisar 10 hingga 14 orang di masing-masing RS tipe A tersebut. Yang mana, tegas Elham, angka itu bukan merupakan tren peningkatan.
Elham juga mengatakan harus ada kajian lebih lanjut terkait dugaan penyebab atau alasan anak-anak melakukan cuci darah.
“Pada konten yang terunggah 31 Maret 2024 lalu itu, anak SMA itu mengaku sangat jarang minum air putih dan kerap mengonsumsi minuman manis dalam kemasan. Alasan tersebut saya kira harus dikaji ulang karena kalau itu penyebabnya, itu membutuhkan waktu yang cukup lama sampai menjadi komplikasi gagal ginjal,” imbuhnya. (Lingkar Network | Rizky Syahrul Al-Fath – Lingkarjateng.id)