Ngaji Wayang di Pati Jadi Media Syiar Agama

SIMBOLIS: Anggota DPRD Jateng, Endro Dwi Cahyono menyerahkan wayang kepada dalang KH Ilham Supriyanto dalam Dialog Parlemen di Pati.

SIMBOLIS: Anggota DPRD Jateng, Endro Dwi Cahyono menyerahkan wayang kepada dalang KH Ilham Supriyanto dalam Dialog Parlemen di Pati. (Dok. DPRD Jateng/Lingkarjateng.id)

PATI, Lingkarjateng.id – Ngaji wayang merupakan sarana dakwah atau syiar agama dengan menggunakan media wayang. Konsep ngaji wayang menjadi media edukasi bagi masyarakat dalam menemukan jati diri. Saat pementasan, cerita yang disuguhkan memuat nilai-nilai agama yang mudah diterapkan dalam kehidupan.

Dalam acara Dialog Parlemen “Nguri-Uri Kesenian Khas Kabupaten Pati” mengangkat kesenian ngaji wayang sebagai tema kegiatan dengan lakon “Sirnaning Ampak-ampak Pandawa.”

Dialog tersebut bertempat di Aula Sasono Kencono, Rosi Asih, RM Sapto Renggo Baru, Kecamatan Margirejo, Pati, Kamis (9/2). Dengan mendatangkan tiga narasumber yakni Anggota Komisi E DPRD Jateng Endro Dwi Cahyono, Dalang KH Ilham “Kalimasadha” Supriyanto dan pemerhati budaya Paryanto.  

Nguri-nguri Budaya, Bupati Kudus Ajak Masyarakat Lestarikan Wayang Kulit

Endro Dwi Cahyono menjelaskan, wayang nusantara sangat eksentrik dan tidak biasa. Dari segi konten juga sangat inovatif dan mengedukasi masyarakat. Menariknya lagi, sampai sekarang ini anak-anak di Pati sudah tersugesti, biasanya saat khitanan meminta orang tuanya untuk menggelar wayang.

Ada rasa bangga bagi mereka saat dikhitan duduk bak raja, kemudian tamu hilir mudik dengan salam tempelnya dan disuguhi wayang. Dalam lakon yang disuguhkan, terselip tuntutan agama dan budaya.

“Jadi substansi yang dibawakan tidak melenceng jauh dan alurnya jelas serta dapat menginspirasi pelaku seni yang lain tanpa mengurangi substansi dan bisa berkompetisi dengan budaya budaya lainnya,” jelas Endro.

Gamelan Khas Jateng Dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Selanjutnya, KH Ilham Supriyanto selaku pelaku seni menambahkan, wayang kulit dengan bertajuk ngaji wayang ini, berupa hasil ceramah dan cerita wayang tanpa menghilangkan ciri khas. “Ini adalah inovasi yang kami terapkan dengan ngaji sambil menikmati cerita wayang yang sebenarnya, ngaji wayang sekitar 2,5 jam,” ungkap Ilham.

Menyikapi hal itu, Paryanto selaku pemerhati kebudayaan berharap seniman hendaknya diberikan ruang yang cukup untuk berekspresi. Banyak seniman muda namun kurangnya fasilitas mereka kurang mampu berkembang maksimal. “Sanggar seni di Pati sudah banyak, setiap tahun diadakan lomba dalang muda” ujarnya.

Lanjut dia, wayang yang awalnya menjadi tontonan, karena diselipkan dalam mengaji maka menjadi tuntunan, ketoprak juga menjadi salah satu unggulan khas pati. Wayang dan batik khas Pati di akui UNESCO (di tengah pandemi). Selain itu, dalam mempersiapkan generasi dalang-dalang muda untuk nguri-uri kebudayaan khas Pati merupakan tanggung jawab bersama. (Lingkar Network | Koran Lingkar)

Exit mobile version