Lestarikan Budaya, Suparlan Komitmen Produksi Angklung Berkualitas

Lestarikan Budaya, Suparlan Komitmen Produksi Angklung Berkualitas

KREATIF: Suparlan, Pengrajin Angklung dari Desa Gondosari, Gebog, Kudus. (Falaasifah/Lingkarjateng.id)

KUDUS, Lingkarjateng.id – Di zaman sekarang, tak mudah untuk menjumpai seorang perajin alat musik tradisional. Padahal, melestarikan budaya merupakan ikhtiar untuk merawat kekayaan bangsa dan negara.

Semangat itulah yang diusung Suparlan (69), seorang yang terkenal ahli dalam membuat alat musik angklung dan tong-tek. Meski tak muda lagi, tapi komitmennya untuk menekuni kerajinan angklung ini tak pernah pudar sejak tahun 1960-an.

Berawal dari keuletannya membuat tong-tek sampai berhasil mendapatkan juara dalam lomba Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) sampai tingkat Provinsi, Suparlan pun mulai merambah membuat alat musik angklung yang terbuat dari bahan yang sama, yakni bambu.

Setelah bisa membuat tong-tek, dua tahun kemudian warga RT 6 RW 2, Desa Gondosari, Gebog, Kudus ini belajar membuat alat musik angklung pada gurunya di SMP 1 Gebog, tahun 1966. 

“Jadi karena rumah saya dekat dengan rumah Pak Guru tinggal di situ, sambil memperhatikan dan belajar, saya juga mempraktikkan dan nyetel nada dengan harmonika dan gitar,” imbuhnya.

Nguri-nguri Budaya, Bupati Kudus Ajak Masyarakat Lestarikan Wayang Kulit

Seiring berjalannya waktu, Suparlan bukan hanya membuat angklung tunggal, tapi bisa membuat sampai satu set angklung.

“Satu set itu ada satu angklung melodi, gambang, dan 1 angklung yang nanti dibuat klasikal 1 anak satu untuk perorangan. Itu komplit 5 alatnya yang saya taksir harganya sampai Rp5 juta,” paparnya.

Ia mengungkapkan, alasan di balik harga satu set angklung buatannya yang mencapai Rp5 juta, karena dari awal proses pembuatan angklung sampai proses akhir pembuatan dikerjakannya sendiri.

“Mengapa sampai Rp5 juta, karena lihat bambunya. Dalam proses pembuatannya, mulai awal motong bambu hijau hingga pengeringan dan seterusnya hingga 6 bulan baru selesai, semua saya tangani sendiri masalah angklungnya,” ungkapnya.

Lebih lanjut, proses pemotongan bambu ini menyesuaikan bentuk angklung dan yang terakhir proses menyetel nada sesuai kebutuhan, bisa dari organ, pianika, gitar, atau garputala.

Sosok yang khas dengan blangkon di kepalanya ini mengatakan, sudah ada beberapa orang yang datang menemuinya untuk belajar membuat angklung, namun mereka akhirnya tidak sanggup karena menurut mereka proses membuatnya sangat membutuhkan kesabaran dan ketelatenan tingkat tinggi. 

Lestarikan Seni Daerah, M. Zen Minta Seniman Pati Lebih Inovatif

“Pernah ada yang belajar, kepingin bisa buat juga. Itu dua, tiga kali dia datang, baru berjalan beberapa hari mereka sudah bilang, wah kalau saya kerja model begini tak sabar, Pak. Itu sampai 6 orang yang bilang begitu,” ungkapnya.

Menurutnya dalam proses pembuatan angklung yang terpenting adalah kesabaran dan keuletan. 

“Yang penting adalah memiliki kesabaran, telaten, dan pikiran yang fresh. Ketika saya lagi suntuk, saya akan cari hal lain yang bisa membuat pikiran saya kembali tenang dan fresh,” ungkapnya.

Suparlan juga resah karena sekarang ini untuk bisa menemukan bambu untuk membuat angklung sulit ditemukan. 

“Kalau membuat angklung, sekarang saya harus milih bambu ke lokasi sendiri yang umur bambunya itu minimal 3 tahun. Sekarang ini jarang ada, karena mungkin panjenengan tahu mengapa sekarang di desa enggak ada bambu apus. Bambu apus itu yang umur 3 tahun, bambu-bambu muda sekarang ini banyak yang ditebang untuk tiang cor rumah,” imbuhnya.

Gamelan Khas Jateng Dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Karena pandemi, saat ini usahanya jadi sedikit terhambat. Ia menuturkan, biasanya pada September dan Oktober, mulai ada orang yang datang untuk memesan angklung. Namun karena pandemi, saat ini jarang orang yang datang untuk memesan.

“Biasanya yang orang yang pesan itu untuk kegiatan ekstrakurikuler sekolah, dan grup musik,” katanya.

Angklung dan tong-tek hasil buatannya sudah dipesan sampai luar daerah. Ia mengungkapkan, pemesan paling jauh dari daerah Lampung dan Pekalongan.

“Satu set besar biasanya saya mematok harga Rp5 juta. Untuk set sedang Rp3,5 juta. Dan set kecil Rp2 juta,” jelasnya.

Sosok yang juga berperan mengajarkan alat musik ini berpesan kepada generasi muda supaya melestarikan budaya daerah. “Generasi muda harus cinta tanah air dan juga harus bisa menghargai budaya dan seni daerah,” pesannya. (Lingkar Network I Falaasifah – Lingkarjateng.id)

Exit mobile version