JEPARA, Lingkarjateng.id – Ratusan buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Aneka Industri Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPAI FSPMI) Jepara Raya menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Jepara pada Kamis, 16 Januari 2025. Mereka menuntut pembubaran rapat dewan pengupahan tentang diskusi pasca penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) Jepara 2025.
Ketua Konsulat Cabang FSPMI Jepara Raya, Yopi Priambudi, menyampaikan bahwa tujuan dari aksi unjuk rasa itu untuk membubarkan rapat dewan pengupahan terkait UMSK yang digelar Kamis pagi ini. Sebelumnya, pihaknya sudah memberikan peringatan terlebih dahulu, jika rapat tetap dilaksanakan maka akan ada di demo dan dibubarkan.
“Kami tahu akan ada diskusi pasca penetapan UMSK dari undangan yang diberikan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten Jepara. Kami kaget dan heran kenapa penetapan UMSK di Kabupaten Jepara masih diganggu gugat,” katanya.
Yopi mengatakan bahwa pembayaran UMSK sudah disepakati mulai tanggal 5 dan 10 Februari 2025 nanti. Perusahaan dari Korea dan Jepang, kata dia, sudah sepakat dan mau untuk menerapkan UMSK tersebut.
“Padahal kemarin sudah approved antara pihak manajemen atau perusahaan untuk membayarkan secara UMSK. Jika nanti ditemukan ada perusahaan yang tidak menetapkan UMSK, maka akan kami demo pabriknya. Kami ingin mendengar apa alasan tidak mau membayarkan UMSK tersebut,” ujarnya.
Menurutnya, UMSK hukumnya wajib karena sesuai keputusan yang disampaikan oleh Penjabat (Pj.) Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana, beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, jika ada yang tidak membayarkan UMSK, maka perlu adanya diskusi antara pihak serikat buruh dengan manajemen atau perusahaan.
“Ya nanti kita lihat datanya, selama 1 tahun kemarin, bisa dilihat labanya dan kerugian apakah ada. Jangan hanya bilang tidak bisa membayarkan UMSK, tapi merujuk pada data tersebut,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Kabupaten Jepara, Mayadina, menyampaikan bahwa pemberlakuan UMSK di Kabupaten Jepara diperkirakan akan menimbulkan berbagai dampak di beberapa sektor.
Mayadina menambahkan jika dilihat dari hasil sampling 33 perusahaan, dengan 28 perusahaan menyatakan bahwa dengan pemberlakuan UMSK, maka pihak perusahaan akan melakukan efisiensi dengan opsi tidak memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pengurangan karyawan (PHK) sebanyak 7.335 pekerja atau lebih.
“Mereka juga mengatakan akan relokasi ke daerah lain yang tidak memberlakukan UMSK atau yang UMK-nya lebih rendah dari Jepara,” kata Mayadina.
Dari 33 perusahaan, kata Mayadina, 23 perusahaan berpotensi menghentikan investasi di Jepara, dengan nilai mencapai sekitar Rp 2.453.891.155.695 dalam jangka 2 sampai 5 tahun ke depan.
“Pembelian tanah akan dievaluasi ulang, dan yang paling parah adalah penutupan perusahaan. Saya ingat betul ada satu perusahaan yang memperkirakan akan bangkrut pada 2026,” imbuhnya.
Menurutnya, risiko lain yang akan terjadi yaitu penambahan pengangguran, tingkat kemiskinan meningkat, produk domestik bruto (PDB) akan berkurang, serta berkurangnya pendapatan asli daerah (PAD) yang tentunya akan berdampak pada pembangunan infrastruktur.
“Berbagai dinamika yang terjadi itu memang mengharuskan untuk diadakan pengkajian ulang,” ucapnya.
Maka dari itu, pihaknya mencoba mengajak serikat pekerja untuk berdiskusi terkait hasil kajian dari pasca pemberlakuan UMSK Jepara 2025.
“Kami mencoba bersama-sama dengan serikat pekerja, namun dari serikat tidak hadir,” ujarnya.
Mayadina menambahkan bahwa peninjauan ulang terhadap besaran UMSK sangat dimungkinkan asalkan ada kesepakatan.
“Tadi kita sudah melakukan telekonferensi dengan provinsi, dan provinsi menyampaikan bahwa peninjauan ulang terhadap besaran UMSK sangat dimungkinkan asalkan ada kesepakatan. Namun hari ini kesepakatan belum bisa kami capai karena ada satu pihak yang tidak hadir,” pungkasnya. (Lingkar Network | Tomi Budianto/Muhammad Aminudin – Lingkarjateng.id)