SEMARANG, Lingkarjateng.id – Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah, Ahmad Aziz, menyebutkan data riil jumlah pekerja yang diberhentikan sepanjang 2024 di provinsi setempat mencapai 9.133 orang.
Data yang disampaikan oleh Ahmad Aziz berasal dari aplikasi SIGAP PHI, yang memantau kasus PHK di 35 kabupaten/kota se-Jawa Tengah.
Angka tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan data yang disampaikan oleh Komisi IX DPR RI yang menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh di Jawa Tengah mencapai 13.700 orang.
“Kunjungan Komisi IX DPR RI ini berkaitan dengan banyaknya PHK, khususnya di sektor tekstil, produk tekstil, dan alas kaki (TPT). Mereka mendapatkan informasi bahwa Jawa Tengah memiliki jumlah PHK yang lebih banyak dibandingkan provinsi lain,” ujar Ahmad Aziz baru-baru ini.
Menurutnya, kunjungan tersebut memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi berita yang selama ini tersebar. Data yang dimiliki Disnakertrans diperoleh langsung dari kabupaten/kota melalui aplikasi SIGAP PHI, yang terus diperbarui secara real-time.
Aplikasi tersebut mencatat perusahaan mana saja yang melakukan PHK, jumlah pekerja yang terdampak, hingga proses mediasi yang sedang berjalan.
Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyoroti masalah pembayaran jaminan sosial bagi pekerja di Jawa Tengah. Berdasarkan hasil tinjauan lapangan, banyak pekerja tidak mendapatkan jaminan sosial karena sejumlah faktor, termasuk perusahaan nakal yang tidak membayar premi akibat kendala keuangan.
Edy menyatakan bahwa kondisi ekonomi yang dipengaruhi oleh geopolitik menyebabkan turunnya permintaan ekspor, sehingga perusahaan melakukan efisiensi. Oleh karena itu, hak-hak 13.700 pekerja di Jawa Tengah yang terkena PHK harus dijamin, termasuk pesangon, jaminan sosial, dan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Namun, hanya 9.700 pekerja yang terdaftar dalam JKP.
Mengenai perbedaan data jumlah PHK di Jawa Tengah, Edy menekankan perlunya penyelidikan lebih lanjut. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 13.700 pekerja terkena PHK, sementara data dari dinas terkait menunjukkan 9.700.
Menurutnya, perbedaan tersebut perlu diklasifikasi, dengan kemungkinan ada pekerja yang tidak terdata atau belum melapor.
Sementara itu, Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jateng, Aulia Hakim, menyatakan bahwa banyaknya jumlah PHK massal mematahkan mitos bahwa upah murah dapat menjadi solusi untuk mengatasi PHK. Di Jawa Tengah, yang dikenal dengan tingkat upah rendah, justru tercatat angka PHK tertinggi, khususnya di sektor manufaktur, tekstil, dan industri pengolahan.
Kegagalan kebijakan upah murah ini diperburuk oleh dampak negatif dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang mempermudah pengusaha melakukan PHK. Alih-alih melindungi pekerja, UU tersebut justru memperlemah posisi buruh dalam mempertahankan pekerjaan mereka.
“Pemerintah harus segera mencabut UU Cipta Kerja dan meninggalkan paradigma upah murah. Kebijakan yang berpihak pada pekerja harus segera diimplementasikan, termasuk upah layak dan perlindungan kerja yang kuat,” tegas Aulia Hakim. (Lingkar Network | Rizky Syahrul Al-Fath – Lingkarjateng.id)