SEMARANG, Lingkarjateng.id – Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) resmi melarang tiga tersangka kasus pemerasan dan perundungan (bullying) mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang untuk bepergian ke luar negeri.
Ketiga tersangka tersebut adalah TEN, SM, dan ZYA. Meski demikian, ketiganya hingga kini belum ditahan dan baru akan menjalani pemeriksaan pekan depan.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jateng, Kombes Pol. Dwi Subagio, mengungkapkan bahwa administrasi penyelidikan terhadap ketiga tersangka telah rampung.
“Sudah pencekalan ke luar negeri. Awal Januari 2025 rencana pemeriksaan. Kalau yang bersangkutan hadir, kita periksa,” ujar Dwi di Mapolda Jateng, Semarang, pada Jumat, 27 Desember 2024.
Lebih lanjut, Dwi menjelaskan bahwa penahanan terhadap para tersangka belum dilakukan karena proses pemeriksaan masih berlangsung. Ia juga menyebutkan potensi adanya tambahan tersangka berdasarkan hasil pemeriksaan lanjutan.
“Belum (ditahan). Kami akan lakukan prosedur pemeriksaan dulu. Dari Undip, Kemenkes, hingga RSUP Kariadi, semuanya kooperatif,” tambahnya.
Dalam kasus ini, Kaprodi PPDS Anestesiologi, TEN, diduga memanfaatkan peran senioritas untuk meminta uang operasional. Sementara itu, SM sebagai Kepala Staf PPDS Anestesiologi disebut meminta sejumlah uang kepada bendahara PPDS.
Adapun ZYA, seorang senior, diduga memberikan doktrin kepada mahasiswa senior lain untuk memberikan hukuman berupa makian kepada juniornya.
Sejauh ini, total 36 saksi telah diperiksa dalam upaya menelisik keterlibatan ketiga tersangka. Barang bukti berupa uang tunai senilai Rp 90,7 juta juga diamankan sebagai bagian dari akumulasi kasus ini.
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol. Artanto, menyatakan bahwa para tersangka dijerat sejumlah pasal, di antaranya pasal 368 ayat 1 KUHP tentang pemerasan, pasal 378 KUHP tentang penipuan, serta pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP yang telah disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2013.
“Ancaman hukuman maksimalnya adalah sembilan tahun penjara,” tegas Artanto. (Lingkar Network | Rizky Syahrul Al-Fath – Lingkarjateng.id)