GROBOGAN, Lingkarjateng.id – Penyakit epilepsi menjadi perhatian Dinas Kesehatan (Diskes) Grobogan. Terutama setelah mencuatnya kasus bunuh diri (bundir) di Wirosari Grobogan oleh pemuda diduga depresi akibat epilepsi.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Grobogan melalui Sub Koordinator Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa Dinkes Grobogan Subandi, mengatakan ada 92 warga yang tercatat mengidap penyakit epilepsi.
“Sampai saat ini, tercatat ada 92 warga Grobogan yang mengidap penyakit epilepsi,” katanya pada Rabu, 3 Juli 2024.
Menurut Subandi, warga dengan penyakit epilepsi tersebut ditangani 30 puskesmas yang ada di Kabupaten Grobogan. Dari 92 warga tersebut rinciannya yaitu 58 laki-laki dan 34 perempuan.
“Dari data itu, ada 11 pengidap baru dari laki-laki dan 5 dari perempuan,” tambahnya.
Dikatakan, pengidap penyakit epilepsi saat ini, harus mengikuti rutinitas kontrol dengan pendampingan keluarga secara intensif guna meminimalisir kejadian yang beresiko tinggi.
“Kalau pengidap penyakit epilepsi rutin kontrol, sangat dimungkinkan kekambuhan tidak kembali terjadi,” katanya.
Penyakit epilepsi, lanjut Subandi, merupakan penyakit kasuistis sehingga waktu kambuhnya tidak dapat diprediksi.
“Namun, upaya kontrol dan pengobatan dapat meminimalisir kekambuhan yang terjadi,” katanya.
Aktivitas kontrol rutin itu, menurut Subandi, salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pengidap epilepsi mencegah kekambuhan yang membahayakan.
“Obat-obat itu dapat menstabilkan kerusakan jaringan otak yang mengakibatkan epilepsi. Sehingga, saraf-saraf yang rusak dapat distabilkan melalui upaya rutin konsumsi obat,” katanya.
Dikatakan, epilepsi bisa sembuh melalui operasi. Namun, hal itu masih sangat sulit. Selain itu, dokter spesialis epilepsi sangat minim untuk saat ini, terutama di Indonesia.
Lebih lanjut, Subandi menegaskan bahwa penyakit tersebut bukanlah penyakit yang menular. Apalagi penyakit gangguan jiwa, epilepsi terjadi saat adanya kerusakan jaringan pada otak.
“Sementara pemicu kekambuhan bisa jadi dari beberapa faktor, seperti pengidap baru stres, kecapean, atau sesuatu yang lain menyebabkan pikirannya capek dapat kambuh lagi,” jelasnya.
Sementara itu, saat ditanya terkait pengidap kasus epilepsi yang berujung depresi sehingga memutuskan untuk bunuh diri pihaknya menuturkan hanya baru tahu satu kasus bunuh diri yang diduga karena mengidap epilepsi.
“Untuk kasus bunuh diri diduga karena epilepsi baru yang kemarin di Wirosari. selain itu, belum pernah ada, kemungkinan juga dari faktor lain seperti ekonomi ataupun masalah keluarga,” katanya
Dijelaskan, meskipun sangat minim kasus bunuh diri disebabkan epilepsi, namun sangat memungkinkan pengidap epilepsi bisa depresi berat.
“Dengan upaya pendampingan keluarga untuk memberi semangat dan kontrol obat sangat membantu pengidap epilepsi untuk melanjutkan kehidupan,” jelasnya.
Menurutnya mental pengidap epilepsi sangat rentan. Terlebih vonis penyakit epilepsi tidak dapat disembuhkan melainkan hanya meringankan atau meminimalisir kambuhnya penyakit tersebut.
“Bila pengidap epilepsi mentalnya kuat, serta menyadari penyakit yang terjadi dan mau untuk rutin kontrol itu sangat baik sehingga tidak mengakibatkan sebuah masalah,” jelasnya
Ditambahkan, sangat dikhawatirkan, bila seorang pengidap penyakit epilepsi memiliki mental yang tidak kuat serta tidak memiliki dorongan semangat dari keluarga sekitar.
“Hal itu sangat dapat mengakibatkan pengidap penyakit itu sering kambuh dan terjadi stres berat yang mengakibatkan penderita putus asa,” tandasnya. (Lingkar Network | Eko Wicaksono – Lingkarjateng.id)