Rahasia di Balik Tulisan Resep Dokter yang Sulit Dibaca

TAHUKAH KAMU

Ilustrasi Seorang dokter tengah menulis resep obat. (Istimewa / Lingkarjateng.id)

Lingkarjateng.id – Tulisan resep dokter atas diagnosis penyakit tertentu terkesan sulit dibaca pasien sebelum era digitalisasi farmasi. Hal itu memiliki sejumlah alasan, salah satunya terkait volume aktivitas.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dr. Hermawan Saputra mengatakan, semakin cepatnya layanan yang dilakukan seorang tenaga kesehatan tak dibarengi kecepatan pada jari jemarinya dalam menulis resep.

“Seorang tenaga kesehatan memiliki volume layanan yang cepat, maka kecepatan berpikir tidak diimbangi kecepatan jari jemarinya sehingga kadang penulisannya begitu teramat indah, susah dibaca masyarakat,” ujarnya.

Tenaga kesehatan lain termasuk apoteker bisa mengatasinya. Walau begitu, mereka tetap melakukan validasi atas resep yang diterima pada dokter yang meresepkan obat. Mereka pun akan memberikan edukasi kepada pasien terkait dosis obat dan petunjuk konsumsi hingga pasien paham dan meninggalkan ruang komunikasi di instalasi farmasi.

Tetapi ini dalam konteks konvensional. Seiring adanya digitalisasi dalam industri kefarmasian, peresepan dilakukan secara digital. Pasien bahkan bisa mengetahui jenis obat yang diminum termasuk petunjuk konsumsinya.

Dalam hal ini, ada keuntungan lainnya yakni kemungkinan meminimalisir bias, kesalahan dalam pembacaan resep oleh apoteker.

Kemudian, sama halnya pada keadaan konvensional, apoteker pun melakukan komunikasi dengan dokter untuk mengonfirmasi atau memberikan rekomendasi yang menyebabkan perubahan pada resep elektronik. “Jadi tetap, kalaupun ada peralihan full antara penggunaan peresepan secara konvensional dengan yang sifatnya electonics bases, maka tetap ada fungsi konfirmasi dan itu dimungkinkan secara teknologi,” kata Hermawan. (Lingkar Network | Koran Lingkar Jateng)

Exit mobile version